Cinta di Atas Bulan Salib
*M.G. Kurniawan
“Ketika saatnya nanti, akan ku sandarkan bahtera ini pada pelabuhan penuh sekat kegairahan. Sambil berharap, cinta yang mengembangkan layar kasih berlandaskan fondasi kokoh bernama keikhlasan. Namun, manusia tetaplah manusia. Nafsu masih akan menyeruak liar diantara putihnya nurani. Nafsu mencintai, nafsu memiliki, nafsu menguasai, nafsu mengambil alih, nafsu mendominasi, nafsu, nafsu, dan nafsu.”
***
“Iling-iling yo le, sak becik-becike menungso iku mono seng ngerawuhake manfaat gawe menungso liyane.”
“Inggih Mbok. Kulo nggih nyuwun pangapunten menawi ngelakoni penggawean ingkang nggarai panjenengan khawatir.”
“Iyo le. Wes pokoke lek kape lapo-lapo dipikir disek. Ojo nuruti nafsu ongkoro. Lek pancen gak ngerti opo-opo yo gak usah ngomong opo-opo.”
Ternyata dialog dadakan di surau subuh ini berbuntut panjang. Faris yang masih terhitung pupuk bawang dalam urusan agama berani adu argumen dengan salah satu ulama terpandang Desa Waliman, Gus Top. Berawal dari rasa ingin tahu yang membuncah, Faris menanyakan salah satu bab paling sensitif dalam urusan agama. Menjalin cinta beda keyakinan. Gus Top dan beberapa warga Desa Waliman yang kebetulan jamaah subuh di surau dengan tegas menyuarakan bahwa itu salah. Haram hukumnya seorang Muslim menikah dengan yang bukan bagian dari Islam. Dengan berondongan ayat suci Quran, penuh wibawa Gus Top mencecar Faris dengan jawaban yang terkesan mengintimidasi. Jiwa muda Faris pun terusik, pertahanannya roboh. Dengan sekali ayunan tangan penuh murka, Faris berhasil membuat mulut Gus Top bersimbah darah. Merah darah bercampur tetes peluh jadi satu, menodai kesucian rumah Tuhan. Menodai titah, bahwa utamakanlah bermusyawarah. Bukan saling menghunus amarah.
***
Bukan tanpa alasan Faris bertindak gegabah seperti itu. Saat ini Ia sedang menjalin asmara dengan seorang Kristen, Herlen. Mereka bertemu ketika selesai melakukan ritual ibadah masing-masing. Ya, di Desa Waliman, Masjid dan Gereja Kristen letaknya bersebelahan. Hanya dipisahkan oleh makam kecil yang berisi nenek moyang warga Desa Waliman. Kali pertama bertemu pandang, Faris terlihat seperti orang gila. Kesadarannya tercerabut entah kemana. Matanya melotot tajam, giginya bergeretak, dan kakinya tidak berhenti bergetar. Seperti melihat bidadari saja. Tetapi memang itulah yang dirasakan Faris. Bagi Faris, Herlen tak ubahnya seperti bidadari. Rambut hitam panjang terurai, senyum manis yang selalu merekah, lesung yang menambah nilai artistik wajah Herlen, serta aura kedamaian yang tanpa paksaan terpancar dari wanita ramah tersebut. Sementara Herlen? Bersikap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa dalam dirinya. Padahal, Herlen merasakan sendiri betapa hebat getaran hati yang bergenderang ketika wajah teduh Faris tepat berada hanya beberapa meter dari kelopak matanya. Ya, seperti itulah wanita. Penuh misteri.
Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan hati masih bergetar hebat. Herlen merebahkan dirinya ke kasur dengan perasaan tak terkira bahagianya. Belum pernah sebelumnya ia merasa seluar biasa ini ketika saling pandang dengan seorang pria. Faris? Tak jauh berbeda. Berkali-kali Ia lantunkan asmaul husna sebagai wujud kekaguman kepada Tuhan atas ciptaan-Nya yang begitu elok.
Entah bagaimana mulanya, Faris dan Herlen semakin hari semakin intim. Faris setia menunggu Herlen setiap minggu pagi ketika sang bidadari berlutut kepada Yesus. Herlen lebih gila lagi. Ia menunggui Faris setiap lima waktu sehari ketika sang pujaan hatinya bersimpuh takzim kepada Allah. Biasanya tempat favorit mereka berdua ketika menunggu satu sama lain adalah makam nenek moyang Desa Waliman. Disitu memang bercokol satu pohon beringin nan rindang, yang dibawahnya terletak tempat duduk nan nyaman. Terbuat dari bambu, tapi cukup lah sebagai tempat bersandar ketika dalam masa penantian.
“Kok sudah keluar Ris? Nggak biasanya kamu selesai salat secepat ini.”
“Sengaja Len, karena ada satu hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Soal apa?”
“Sudahlah, ikut saja dulu.”
Sempoyongan Herlen mengejar derap kaki Faris yang gamang. Antara berjalan atau sedang berlari kecil. Sampailah mereka tepat di depan rumah Faris dengan Herlen masih bertanya-tanya apa maksud semua ini?
“Duh nduk, makin cantik saja wajahmu. Semakin taat ya ibadahnya?”
“Ah Mbok, sekadar menjalankan kewajiban sebagai penyebar kasih.”
“Mbok, kok malah diajak ngobrol disini? Herlen ini tamu istimewa loh. Ayo kita jamu di dalam saja.”
Herlen semakin penasaran. Ada apa ini? Tetapi untuk urusan keakraban Faris dan Mbok Jum, Herlen sudah tidak lagi heran. Ini bukan kali pertama Ia bertamu ke rumah Faris. Jadi, sedikit banyak Ia mengetahui bagaimana hubungan Faris dan Mbok Jum adalah multifunction relationship. Di satu waktu mereka terlihat seperti Ibu dan Anak. Sekali waktu terlihat seperti seorang teman. Ada juga saat-saat dimana mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Namun, sebenarnya hubungan Faris dan Mbok Jum bukan salah satu diantara ketiganya. Mbok Jum adalah sahabat keluarga Faris.
“Ris, tolong ambil teh sama tekonya di dapur, di samping kulkas!”
“Iya Mbok, ini Faris masih cuci muka.”
“Mbok, memangnya ada maksud apa ya Faris mengajak saya kesini? Apalagi tadi waktu perjalanan terlihatkesusu.”
“Oalah Len, mengko wae lek Faris wes nang kene.”
Faris datang dengan raut muka riang, seperti anak kecil baru dibelikan mainan kesukaannya. Perlahan teko beserta cangkir diletakkan di meja tempat Mbok Jum dan Herlen sedari tadi ngobrol ngalor-ngidul.
“Ris, bagaimana jamaah tadi, ramai?”
“Ah Mbok ini. Herlen tambah penasaran, jangan bahas yang lain ah! Bahas yang tadi Herlen tanya saja!”
“Memang Herlen tadi tanya apa Mbok?”
“Itu tuh. Maksud kamu ngajak Herlen kesini sambil lari kesetanan itu.”
“Ooooohhh. Mau jawaban yang to the point atau yang kesana kemari?”
“To the point dong!”
“Jadi begini Len. Mungkin dirasa terlalu cepat, tetapi aku ingin bersikap sebagaimana adanya. Berujar sejujur mungkin. Emh... Aku mencintaimu! Aku ingin menjadikanmu sebagai ibu dari keturunanku nantinya.”
“Hahahahahaha. Bisa saja kamu bercanda Ris!”
“Aku belum selesai bicara. Aku serius! Jika senyummu sudah menancap di hatiku, jangan salahkan aku kalau jiwa ini berani merindukanmu. Aku hanya akan memeberikan dua pilihan. Iya, iya! Tidak, Tidak!”
Begitu lugasnya kata cinta yang keluar dari bibir polos Faris, hingga membuat kerongkongan Herlen tercekat hebat. Rasa-rasanya pita suara menyimpan sejuta nuklir yang siap meledak. Namun ada hal yang menahan sehingga ledakan itu tak terjadi.
“Aku... Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus ku katakan atas tawaranmu. Yang pasti, aku bahagia menjalani detik akhir-akhir ini berada di dekatmu. Aku belum pernah seriang ini. Aku belum pernah ketika bangun tidur, rasanya ada ribuan stimulus menyuntikkan virus semangat menjalani belasan jam selanjutnya. Aku belum pernah. Kamu Ris, Kamu penyebab semua ini. Kamu adalah alasan atas setiap senyum yang mengembang di bibirku.”
***
Selihai-lihai burung berkicau, ada saatnya mereka diam. Sekeras apapun singa mengaum pasti ada saatnya mereka berujar serak. Selirih apapun kicauan semut, pasti akan terdengar. Sekalipun hanya Tuhan yang bisa melakukannya. Lambat laun hubungan yang disimpan rapi dalam bingkai keakraban antar sesama manusia tercium sudah kejanggalannya. Banyak warga Desa Waliman mulai mengendus bahwa hubungan antara Faris dan Herlen lebih dari sekadar hubungan sesama warga masyarakat. Banyak diantara mereka mendapati Herlen berkunjung ke rumah Faris ketika hari sudah larut, begitu sebaliknya.
Atas inisiatif pentolan warga Desa Waliman, Gus Top, disusunlah rencana untuk “menggerebek” kebersamaan Faris dan Herlen yang dirasa menyalahi norma. Semuanya dirancang sedemikian rapi hingga semua diantara mereka yakin tidak ada celah untuk Faris dan Herlen mengelak. Hari yang ditunggu tiba. Waktu yang dinanti datang!
“Pyaarrrr!”
“Brakkk!”
“Pyaarrrrr!”
“Jedduuuuugggg!”
“Ciiittttt!”
Goresan parang menyayat pelataran rumah Faris yang tertutup marmer. Benturan batu sebesar tengkorak bayi dengan kaca yang menghias teras depan tak terhindarkan. Gedoran pintu yang membabi buta terdengar penuh amarah. Amarah setan!
“Woy keluar woy! Jangan teruskan maksiat mu di tempat laknat ini!”
“Munafik! Keluar dan tatap wajah kami. Tunjukkan mukamu yang bermuka dua itu!”
“Laknatullah!”
“Laknatullah!”
“LAKNATULLAH!”
Angkara murka yang menjangkit setiap hati buta warga Desa Waliman tak terbendung. Kalau bukan Faris, berarti Herlen yang harus dihabisi malam ini. Harus ada salah satu yang diberangus, dua-duanya lebih baik. Bagi mereka kemunkaran harus benar-benar musnah dari muka bumi.
“Len. Pergilah lewat pintu belakang. Mbok bisa menemanimu.”
“Tak akan Ris, aku tak akan pernah meniggalkanmu sendirian di tengah amuk salah alamat mereka.”
“Aku juga tak akan pernah merelakanmu jadi santapan hewan-hewan buas di luar sana. Pergilah!”
“Tapi Ris.”
“Sudahlah, apapun itu aku tetap mencintaimu.”
Herlen dengan berat hati mengekor langkah gontai Mbok Jum pergi dari rumah Faris lewat pintu belakang. Raganya jauh sudah meninggalkan, tetapi hatinya masih tertinggal di rumah Faris.
“Ada apa ini? Bertamu ke rumah orang dengan cara yang tidak patut.”
“Alah tak usah kau ceramahi kami, ceramahi dirimu sendiri! Sudah benar belum?”
“Maaf, bisa langsung ke pokok permasalahan?”
“Kami sudah menganggapmu bukan lagi bagian dari kami. Oleh karenanya, kamu harus dimusnahkan dari muka bumi!”
“Apa maksud Gus? Aku sudah bukan lagi bagian dari Desa Waliman? Bagaimana bisa? Sudah dua puluh tujuh tahun aku hidup dari Desa ini. Semuanya ku anggap saudara. Dan sekarang yang ku anggap saudara dengan seenak jidat menjamah dan merusak kediamanku dengan brutal, membabi buta, terlebih lagi tanpa izin. Apa itu Gus anggap lebih mulia daripada aku yang menjalin cinta dengan Herlen?”
“Hahahaha. Naif sekali kau bocah! Kau Cuma orang baru dalam dunia agama, belum menguasai bahkan setetes air pun dari samudera ilmu agama yang tak berbatas. Kau juga secara garis keturunan sama sekali bukan salah satu di antara kami. Kau bukan putra Waliman!”
***
Ketika itu pertengahan 1985, di sebuah simpang Desa Waliman. Terjadi kecelakaan mahadahsyat yang melibatkan tiga kendaraan sekaligus, truk pengisi bahan bakar, sepeda motor butut, dan sebuah mobil Timor. Semua yang ada dalam truk dan mobil selamat dengan hanya luka ringan. Yang jadi masalah adalah tiga manusia yang berada di atas motor butut. Pasutri berikut bayinya yang masih berusia belum genap sebulan. Suami malang tewas ditempat dengan usus semburat menyembul dari pusar. Si Istri meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena pendaharan hebat di kepala. Bayi lucu nan mungil itu? Ajaib, selamat! Tanpa satu inci pun bagian tubuhnya tergores. Secara logika, harusnya si bayi adalah korban yang paling parah keadaannya karena secara usia tubuhnya belum siap mengalami guncangan seberat ini. Namun logika manusia akan dan selalu mentah di tangan Tuhan. Lewat titah takdir yang tertulis, setiap detail kejadian jagad raya beserta isinya sudah tertulis bahkan jauh-jauh hari sebelum alam semesta terbentuk. Bayi itu kini yang dikenal oleh seluruh warga Desa Waliman dengan nama Faris. Ya, Faris. Ternyata Mbok Jum sama sekali bukan sahabat keluarga Faris seperti yang diketahui sebelumnya. Mbok Jum adalah janda yang diamanati Gus Top, pada waktu itu, untuk merawat bocah malang yang baru saja menjadi sebatang kara. Keluarga Faris sebenarnya berasal dari Dusun Aswad, sekitar sepuluh kilometer ke utara dari Desa Waliman.
Yang menjadi pokok bahasan adalah Faris bukan putra Waliman! Dia lahir bukan dari tempat yang sekarang ditinggalinya. Dia ditipu oleh seluruh warga Desa Waliman perihal asal usulnya.
***
“Itulah sebabnya sedari awal aku tidak menganggapmu bagian dari kami karena memang itu realitanya.”
Faris hanya bisa menjawab dengan derai air mata yang menganak sungai. Suara lugasnya lenyap seketika. Tidak ada lagi kekuatan yang menopangnya untuk berdiri, saat ini. Faris pingsan.
***
“Sudah siuman kamu le?”
“Dimana aku sekarang?”
“Sedang di rumah salah satu kerabat Mbok, daerah Kepetingan.”
“Mbok?”
“Iyo le?”
“Mengapa Mbok sampai hati bersilat lidah kepada Faris? Sebegitu hinakah Faris bagi Mbok, hingga untuk berkata jujur pun itu serupa mengangkat puluhan ton baja hanya dengan satu jari?”
“Sebelum Mbok jawab, Mbok nyuwun pangapuro ingkang katah Ris. Mbok tahu, Mbok salah. Namun, ada satu alasan Mbok berlindung di balik topeng palsu bernama kebohongan ini. Mbok jujur sangat sayang kepadamu. Mungkin Gus Top sudah cerita banyak tentang Mbok. Ya, Mbok ini janda. Sebelum suami Mbok memberi Mbok keturunan, beliau sudah lebih dulu mengahadap Gusti Pangeran. Itulah sebabnya Mbok sangat mencintaimu, karena bagi Mbok kamu sudah seperti anak Mbok sendiri. Mulai dari usia belum genap sebulan kamu sudah lengket di pelukan Mbok. Dan ketika tiba saatnya kebenaran terkuak, saat ini, Mbok berharap tidak ada niat secuil pun dari hatimu untuk meninggalkan Mbok! Mbok mencintaimu, sangat mencintaimu.”
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya Faris menjawab dengan dentuman air mata yang menghunus ganas menyembul liar. Lantas menghambur ke pelukan Mbok. Sesaat setelah itu, tercium aroma peluh yang memeliharanya hingga sebesar ini. Terlihat begitu banyak cahaya putih bernama cinta yang menemaninya tumbuh. Tergambar gurat wajah tulus Mbok Jum yang dengan ikhlas menganggapnya dan membesarkannya laiknya anak kandung Mbok sendiri.
“Oh iya, sebelum Herlen pulang dia nitip ini ke kamu.”
Mbok Jum menyerahkan sepucuk surat beramplop coklat yang di depan kanan atasnya tertulis, Untuk: Permadani Cintaku. Faris dengan cekatan meraih surat itu dari tangan Mbok.
“Herlen pulang? Kemana Mbok? Bukankah Ia sudah tidak bisa lagi diterima di Desa Waliman.”
“Semua tanda tanya yang menggelayut di hatimu akan dijawab goresan tinta yang terukir di surat itu. Bacalah.”
Dengan hati berkecamuk campur aduk jadi satu, Faris membaca kata demi kata yang ditulis Herlen. Terlihat kesungguhan hati Herlen dalam menulis surat itu. Tampak dari lipatannya yang rapi serta bahasana yang teratur.
Untuk Faris sinar hidupku,
Rasanya hanya kata maaf yang mampu terucap dari lidah busukku. Maaf untuk seluruh bahagiamu karenaku. Maaf untuk setiap senyummu karenaku. Maaf untuk kata cinta yang terlanjur ku lambungkan tinggi di anganmu. Maaf, maaf, dan maaf. Sebenarnya aku telah bersuami, sudah lima tahun. Puji Tuhan dikarunai dua bocah kembar yang lucu nan menggemaskan. Aku datang ke Desa Waliman untuk misi kerukunan umat beragama. Kamu tahu? Makam yang berada tepat di antara Masjidmu dan Gerejaku adalah makam orang tuamu! Ya, aku dengar dari salah seorang pendeta di Gereja. Ketika orang tuamu tewas dalam kecelakaan maut itu sudah tidak ada lagi tempat tersisa di Desa Waliman untuk mengebumikan manusia. Apalagi orang tuamu bukan warga Desa Waliman. Sangat sulit untuk dapat sepetak tanah sekadar untuk menyemayamkan jasad orang tuamu. Hingga akhirnya diputuskan untuk menggunakan makam nenek moyang Desa Waliman untuk menguburkan jasad orang terkasihmu. Orang tuamu menjadi saksi tumbuhnya benih cinta terlarang di antara kita. Maaf karena kami semua berbohong kepadamu. Maaf karena aku berbohong kepadamu. Kamu yang kuat ya Ris! Tuhan selalu ada kok buat kamu! Tuhan mnyertaimu!
Dari yang menebar benih mata air mata, Herlen
Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya air matalah yang berbicara. Mata Faris sudah seperti sumber air ketika penghujan tiba. Manusia berangan, Tuhan menentukan. Manusia berencana, Tuhan yang punya kuasa. Manusia wafat, Tuhan tetap abadi dalam rahmat.
***
“Ketika saatnya nanti akan ku sandarkan bahtera ini di pelabuhan penuh sekat kegairahan. Sambil berharap, cinta yang mengembangkan layar kasih berlandaskan fondasi kokoh bernama keikhlasan. Namun, manusia tetaplah manusia. Nafsu masih akan menyeruak liar diantara putihnya nurani. Nafsu mencintai, nafsu memiliki, nafsu menguasai, nafsu mengambil alih, nafsu mendominasi, nafsu, nafsu, dan nafsu.”