MATARMAJA
*M.G. Kurniawan
“Seteroberi, seteroberi, seteroberi”
“Anggure uireng uireng, anggure”1
“Roti goreng bantal guedhi guedhi, mek sewuan roti goreng”2
Suara asongan kereta yang aku naiki. Bersahutan, beriringan, sekali waktu terasa berebut paling keras.
****
Hal ini biasanya ku dengar ketika si kuda besi mulai menjamah sekitar Krian. Merdu. Iya kawan, sangat merdu. Bukan karena enak didengar, bukan. Jujur saja itu sangat mengganggu bagi orang yang akan menjalani perjalanan jauh sepertiku. Namun bagaimana suara tersebut terdengar begitu tulus, ikhlas, dan tanpa tendensi apapun. Kecuali tanggung jawab untuk menafkahi orang-orang tersayang. Kebanyakan dari mereka laki-laki, paruh baya. Namun ada beberapa pula perempuan, bisa dihitung dengan jari.
Gorengan, buah, cindera mata, nasi bungkus, es teh. Semuanya ada, lengkap. Salah satu alasan mengapa aku memilih kereta daripada moda transportasi lain. Selain karena harganya yang pas untuk ukuran kantong orang-orang sepertiku, kereta adalah representasi bangsaku. Di dalamnya terdapat orang-orang yang luar biasa. Ada yang dengan langkah gontai menggotong nampan berisi ratusan kue. Ada yang suaranya sampai terdengar samar karena terlalu banyak berteriak.. Ada yang bercengkerama ramah dengan orang-orang sepertiku. Benar-benar manfaat. Kalau aku bosan ngobrol aku beralih memandang ke luar jendela kereta. Untuk sekadar menghirup udara segar. Untuk meresapi goresan karya Tuhan yang membentang di setiap jengkal tanah sepanjang jalur rel kereta.
***
Hanya beberapa meter dari rel, terhampar persawahan luas nan hijau. Padinya tumbuh subur dan sehat. Sepertinya hama enggan mampir. Pematangnya dipenuhi pohon-pohon berbuah. Kalau biasanya, di sawah desaku hanya ada pisang. Disini lebih beragam. Ada
mangga, jambu, pepaya. Ada juga yang ditanami dengan singkong dan talas. Umumnya petani memanfaatkan pematang untuk ditanami dan hasilnya akan dikonsumsi sendiri. Sehari-hari. Untuk mengurangi pengeluaran segala tetek bengek urusan perut. Sungguh cerdas, cerdas sekali. Syukur-syukur kalau hasil pematang sawah melimpah. Biasanya mereka jual sisa konsumsi ke pasar, untuk kemudian hasilnya ditabung. Dan suatu saat jika sudah terkumpul banyak, kemudian akan digunakan untuk merenovasi rumah. Sangat brilian. Benar-benar penerapan konsep manajemen yang sederhana namun mengena.
Sesekali aku melihat gerombolan buruh penggarap sawah. Berkerumun di saung. Oh, ternyata mereka sedang rehat, sejenak. Untuk sekadar melepas penat dan melahap bekal yang dibawah dari rumah. Ada beberapa yang memanfaatkan waktu rehat untuk bermain. Karaban kerbau. Jika biasanya sapi, disini kerbau yang ditandingkan. Berteman dengan kutu-kutu yang menempel di punggung kerbau. Bermandikan lumpur. Tertawa, terbahak, dan tersenyum lembut. Aku melihat ada kebersamaan yang erat diantara mereka. Berbagi bekal. Bertukar lelucon. Sama sekali tidak tampak gurat letih terpampang di wajah mereka. Maklum saja kawan, kondisi bangsaku sedang kondusif. Apalagi bagi para petani. Presiden saat ini benar-benar mengerti. Mengerti bahwa bangsaku adalah negara agraris. Oleh karenanya, beliau dengan tegas menjadikan sektor pangan sebagai prioritas dalam kebijakan negara. Kemajuan pangan juga diikuti dengan nasib petaninya. Harga jual hasil tani ditingkatkan.Yang berarti jaminan bahwa asap di dapur petani masih akan mengepul. Setidaknya untuk waktu yang sangat lama.
Pandanganku kualihkan ke bagian yang lebih dekat dengan rel. Kedua bola mataku agak ku condongkan ke bawah. Saluran irigasi. Lagi-lagi aku berdecak kagum.Aku tidak hanya melihat ciprat bening air yang mengalir deras. Aku melihat banyak sekali tenggakan ikan. Sepengetahuanku tenggakan seperti itu hanya ikan nila yang bisa melakukannya. Ternyata pemikiran petani sudah jauh melampaui imajinasiku. Yang selama ini diajarkan guru kepadaku, irigasi adalah sistem pengairan yang menunjang sawah agar hasil produksi kualitasnya lebih baik. Nyatanya petani tidak hanya memanfaatkan irigasi sebagai sistem pengairan, lebih dari itu. Mereka memanfaatkannya untuk beternak ikan. Mereka benar-benar paham, bahwa ikan akan tumbuh sehat dan segar hanya pada kondisi arus air yang kencang. Darimana mereka tahu itu semua? Tentunya dari sekolah dong. Kan, mereka rata-rata minimal tamat SMA.
“ciiiiiiittttttttt”
Tiba-tiba kereta berhenti. Aku melihat rel ganda. Aku mahfum. Kereta yang aku naiki adalah kelas Ekonomi. Harus mengalah dengan Bisnis dan Eksekutif. Ya, bagi orang-orang sepertiku, cukuplah kereta murah ini mengantar sampai tujuan. Tidak perduli seberapa lama.
Keterkejutanku tidak sampai disini kawan. Di salah satu petak sawah, ada yang hanya dibiarkan berisi air. Sama sekali tidak ditanami. Terlebih lagi warna airnya mengguratkan bahwa tempat itu dalam. Lagi-lagi, sesekali aku melihat tenggakan ikan. Bukan nila, sepertinya lele. Namun, bukan itu yang mencuri perhatianku dan memantik keterkejutanku. Tepat di atas genangan air tersebut dibangun kandang ayam yang terbuat dari anyaman bambu dan beberapa kayu, sepertinya bekas. Jika biasanya kandang ayam di bagian bawahnya akan dipasang kawat agar kotoran tidak terlalu mengotori tanah, ini beda. Setelah bambu tidak ada lagi kawat pengahalang. Yang artinya kotoran ayam akan tercebur ke dalam sawah, atau lebih tepatnya kolam lele. Ting!!!! Aku baru ingat kalau lele adalah salah satu ikan paling rakus di dunia. Apa saja dimakan. Pelet, cacing, daging, dan kotoran, semuanya. Bahkan kotorannya sendiri sekalipun. Benar-benar canggih. Aku baru ngeh sekarang. Ternyata petani sengaja mendesain tempat tersebut seperti itu. Kolam lele dengan kandang ayam di atasnya. Dengan begitu pengeluaran untuk pakan lele akan sedikit berkurang.
Pandanganku tersapu dan beralih ke beberapa petak sawah lain. Aku mencoba mengamati seawas mungkin. Barangkali ada kejutan lain siap menyapa.
***
“Ciiiitttt, jeddduuuggg”
Keningku mencium jendela kereta. Sepertinya kereta berhenti. Pasti ada sesuatu penting yang terjadi, sehingga kereta berhenti di tempat yang tidak semestinya. Setahuku, Stasiun Surakarta masih sangat jatuh. Aku keluar mengekor penumpang lain. Dengan masih memegang keningku yang sedikit memar, aku menengok kesana kemari.
“Nyuwun sewu Pak, ono opo iki kok sepure mandek?”3
“Wah, aku dewe ra ngerti e mas. Sampean coba takok wong-wong iko loh!”4
Dan kuputuskan untuk melangkah ke arah kerumunan orang-orang sepertiku. Setelah berada di gerombolan manusia yang menyemut. ...Ternyata ada yang tertabrak kereta dan
tewas ditempat. Jaraknya sekitar dua meter dari rel. Namun aku tidak lagi bisa memandang wajah malang itu. Jenazahnya tertutup daun pisang yang banyak tumbuh di pematang sawah. Yang jelas dia adalah petani. Terlihat dari caping dan cangkul yang berada tidak jauh dari jenazahnya. Banyak spekulasi berkembang diantara penumpang kereta. Termasuk aku. Petani ini tertabrak atau menabrakkan diri?
Namun setelah beberapa saat, akhirnya spekulasi itu terjawab sudah. Seorang bocah, kira-kira usianya tujuh tahun, menemukan sebuah surat tepat di bawah cangkul si petani malang. Tertindih. Kertasnya usang, sepertinya kertas bekas. Karena bocah tersebut berada di dekatku, dengan jelas terlihat apa yang tertulis dalam surat itu. Tulisannya tidak beraturan besar kecilnya. Sepertinya yang menulis sedang dalam kondisi hati yang sangat gundah. Namun jelas sekali tertulis
“SIAPAPUN YANG MEMBACA SURAT INI, KALIAN SEMUA TIDAK ADA BEDANYA DENGAN SETAN!!!”
***
Setelah selesai membaca surat getir nan singkat itu, barulah aku yakin bahwa tadi aku sedang bermimpi. Bermimpi tentang bangsaku. Lima tahun, sepuluh tahun, atau mungkin seratus tahun ke depan. Ah sial! Tampaknya tidak akan pernah terjadi.
Untuk saudaraku yang tidak tahu caranya mencintai Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar