Sejarah dan Komersialisasi Sastra Indonesia
Oleh: Muhammad Guntur Kurniawan*
Engleton (1988:4) menyatakan bahwa sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan, diterbalikkan, dan dijadikan ganjil. Sementara itu Ahmad Badrun (1983:16) mendefinisikan sastra sebagai kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat dan bersifat imajinatif. Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sastra adalah tulisan yang halus dengan medium bahasa, garis, dan simbol serta bersifat imajinatif. Sastra terdiri dari teori, sejarah, dan kritik. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Teori baru dalam mustahil muncul tanpa adanya telaah sejarah sastra yang intensif. Sejarah sastra tdak akan bisa diperiodesasi tanpa teori dan kritik yang benar. Dan kritik sastra akan menjadi baik bila memerhatikan teori dan sejarah sastra. Dalam artikel ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sejarah sastra khususnya di Indonesia.
Bicara soal sejarah Indonesia tidak lengkap rasanya bila tanpa menelaah lebih lanjut tentng sejarah sastranya. Irwansyah (2011) menyatakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tetap dianggap baru muncul setelah Perang Dunia I berakhir dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun 1917. Balai Pustaka adalah nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pada tahun 1908. Namun yang terjadi sebenarnya adalah sastra Indonesia lahir pada tahun 1920. Tepat setelah Merari Siregar menerbitkan roman asli pertama sastra Indonesia Azab dan Sengsara. Mengapa disebut roman asli pertama sastra Indonesia? Karena pada tahun-tahun sebelumnya roman cenderung memakai bahasa daerah. Seperti roman Sunda Baruang Ka Nu Ngarora (Ratjun Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata terbit tahun 1914. Terlepas dari perdebatan kapan tepatnya sastra Indonesia lahir hal ini tetap menarik untuk diperbincangkan. Irwansyah (2011) memaparkan lebih lanjut mengenai lahirnya kesusastraan Indonesia sebagaimana berikut ini.
Masalah itu diangkat dan dibahas oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1988), yang cetakan pertamanya tahun 1964. Orang pertama dan serius membicarakannya adalah Umar Junus. Menurut dia, kesusastraan Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada karena sastra baru ada setelah bahasa ada. Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928, kemudian bertukar nama dengan bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sebagai pegangan, titik mula bagi sastra Indonesia juga tahun 1928, yang dapat berubah sedikit.
Artinya, bisa mundur atau maju dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena “sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”, tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Artinya, bisa mundur atau maju dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena “sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”, tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Memang pada saat itu roman Azab dan Sengasara masih menggunakan bahasa Melayu. Karena jelas Bahasa Indonesia baru resmi dan dipakai setelah Sumpah Pemuda tahun 1928. Jika menilik hal tersebut nyatalah benar pendapat Ajip Rosidi bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1933 ketika terbit majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Kemudian sastra Indonesia bisa dikatakan berkembang dengan sangat pesat. Ditandai dengan munculnya Angkatan ’45 yang mendobrak pakem lama mengenai karya sastra. Bahwa karya sastra tidak harus terikat dan terpaku pada aturan. Karya sastra dalam periode ini lebih bebas, ejkspresif, dan revolusioner. Itu dapat dilihat dari hasil karya sastra Angkatan ’45. Tokoh-tokohnya adalah Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera) (Didin Widyartono, 2009). Lalu dilanjutkan oleh angkatan ’66 dan angkatan ’70 yang memberi corak baru dalam dunisa sastra Indonesia.
Yang terjadi selanjutnya sangat miris. Terhitung sejak tahun 1998 sampai sekarang sastra Indonesia kehilangan jati dirinya. Banyak orang menyebut era ini adalah kemunduran sastra Indonesia. Bagaimana tidak? Saat ini hamppir mustahil menemukan kanon sastra (karya sastra abadi). Sangat sulit bahkan mungkin tidak ada sama sekali karya sastra yang baik dan lintas zaman. Pada angkatan Balai Pustaka kita bisa meliohat kanon sastra pada roman Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Inggris juga pernah melahirkan melahirkan kanon sastra pada roman Romeo and Juliet karya William Shakespare. Lain halnya dengan zaman sekarang. Sastra sudah menjadi komoditas menarik untuk diperualbelikan. Bisa dibilang sekarang adalah zaman komersialisasi karya sastra. Baik komersialisasi yang bersifat materi maupun non matri. Novel dibuat hanya untuk memenuhi target penjualan tanpa memerdulikan nilai estetika karya sastra. Puisi sebatas menjadi refleksi atas diri pengarangnya tanpa memerhatikan kebutuhan dan minat penikmat sastra. Yang terjadi selanjutnya bisa ditebak. Orang mulai bosan dengan karya sastra yang itu-itu saja. Setelah seseorang membaca sebuah karya sastra ya sudah. Tidak ada hal yang bisa dipetik atau direnungkan. Padahal menurut D.C. Longinus, sebuah karya sastra bisa disebut baik jika mampu membuat pembacanya merenung.
Kita sebagai penikmat sastra tentu berharap karya sastra di Indonesia kembali pada jati dirinya. Kita ingin ada sebuah kanon sastra yang lahir. Ya, semoga harapan tak hanya sebatas harapan. Semoga.
Malang, 20 Desember 2011
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya
Daftar Rujukan
Widyartono, D. 2009, Karya Sastra dan Periodesasinya, (Online), (http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/karya-sastra-dan-periodenya/), diakses pada 19 Oktober 2011.
Shadilie, H. 2009, Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Para Ahli, (Online), (file:///F:/Materi%20Kuliah/Menulis/Pengertian%20Sastra%20Secara%20Umum%20dan%20Menurut%20Para%20Ahli%20%C2%AB%20Asem%20Manis.htm), diakses pada 20 Desember 2011.
Irwansyah. 2011, Sejarah Sastra Indonesia: Sastra Melayu-Tionghoa dan Nasionalisme), (Online), (file:///F:/Materi%20Kuliah/Menulis/sejarah-sastra-indonesia-sastra-melayu-tionghoa-dan-nasionalisme.htm), diakses pada 20 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar