• Home
  • Home
  • Home

Minggu, 20 Januari 2013

Risalah 1433 Hijrah (Tentang Tuhan, Agama, dan Kekasih-Nya)Judul pos


Depan Pasar Turen

*M.G. Kurniawan
Dibilang kecewa, pasti kecewa
Siapa yang bisa menahan amarah
Ketika janji tidak lebih harum dari sampah?
Ini bukan masalah apa yang akan kau beri untukku
Ini bukan menyoal apa yang ingin ku beri untukmu
Ini masalah janji
Janjimu padaku
Janjiku padamu, dan
Janjiku pada teman-temanku
Aku cuma manusia
Marah pasti ada
Hanya, aku coba maklum lah
Mungkin ada urusan lain yang lebih berharga
Ketimbang janji yang kau anggap sampah
Yang perlu kamu tahu
Sebelum maaf meluncur deras dari lidah busukmu
Aku sudah memaafkan
Urusan kita beres kan?
Terima kasih

Risalah 1433 Hijrah (Tentang Tuhan, Agama, dan Kekasih-Nya)


“Dia” (Bukan) Tuhan

*M.G. Primadana
setan
#Iku BuDe daginge akeh,
tapi rasane pait
/Selain pait, yo haram.
daginge babi, getihe anggur
malaikat
#Meminum keringat air mata kaum melarat
Memakan urat nadi golongan termarjinalkan
Apa namanya dia kalau bukan bangsat?
Apa lagi kalau bukan bajingan?
/Bukan bajingan, bukan juga bangsat
“Dia” hanya merelakan jiwanya pada setan,
dan akhirnya sesat
#Dan nyatanya “Dia” lebih jahanam dari setan
Setan tidak memakan sesama setan.
Tapi “Dia” merenggut, merebut, dan mencabut
Saripati kehidupan rakyat
Nyatanya kita semua setan
/Tinggal pilih, mau jadi apa?
setan baik, setan unyu, setan imut, setan alay
setan labil, setan durhaka, atau
Yang sebenar-benarnya SETAN?
Hidup selalu menyoal pilihan
Tidak memilih, itu juga pilihan
Artinya Anda memilih menjadi setan apatis!
#Setan yang nampak anggun berbalut seragam parlente
Duduk nyaman di kursi empuk”Mu”
Terbahak sampai tergelak melihat kami menggertak
Tawa”Mu” bau bangkai, dari sisa jasad yang mati “Kau” tikam
Jelas terselip, robekan nasib diantaranya
Gigi-gi taring”Mu” yang menjijikkan
setan
Bukan soal parlente atau kere
Ini dosa yang tak lagi sepele
Bagaimana bisa “Dia” menari saat harusnya mengabdi?
Bagaimana bisa “Dia” mengelak saat seharusnya tegak?
Benar-benar sengak!!
Jika disini peranku sebagai Tuhan, akan ku titahkan jutaan gagak
Untuk memungut sisa tulang-tulangnya yang retak.
Tertindih senyum”Nya” yang tergeletak
ALLAH
Jangan biarkan iblis laknat bersetubuh, beranak pinak, tumbuh dan mengakar
mencengkeram Kita
Aku bukan Tuhan
Namun Tuhan adalah Aku
Ada dalam diri-Ku, memeluk-Ku

Risalah 1433 Hijrah (Tentang Tuhan, Agama, dan Kekasih-Nya)Judul pos


PECH

*M.G. Kurniawan
Jancok!! Raimu suwi tenan tekoe
Kan aku wes nggacor, lek wes tak sms
Susulen aku cok!!
Cok!! Gara-gara raimu aku koyok wong goblok ndek kene
5 menit berselang
“Sepurane beh, aku keudanan”
Ya ampuuuunnn, adakno aku suudzan
Aku seng sepurane beh,
I JANCOK YOU

Risalah 1433 Hijrah (Tentang Tuhan, Agama, dan Kekasih-Nya)


Mahatari

*M.G. Kurniawan
Setelah 350 tahun
Inilah karya yang mereka bangun
Dengan peluh pribumi
Dengan kerja tak kenal hati
Bukan sekadar soal menjarah
Ini tentang sejarah
Jangan selalu anggap mereka setan
Walau itu benar adanya
Bahkan setan pun memikirkan masa depan kita,
Indonesia!!
Kaku, lugas, tak kenal kompromi
Khas kompeni
Bahkan setelah berabad-abad
Masih mengabdi khidmat
Matanya lentik
Parasnya cantik
Senyumnya menggelitik
Benar-benar penuh intrik
Khas arca bangsa licik
Seolah menyatu dengan swargaloka
Seperti sudah kenal lama
Padahal baru satu detik lalu Tuhan mengiyakan
Kalau bukan takdir
Ini pasti sebuah skenario getir
Yang disusun dari kertas usang nan satir
Yang dirupa putih tersihir
Oh... Mahatari
Oh... Mahatari
Oh... Mahatari
Kau mengingatkan kami
Akan cinta yang tersimpan rapi
Pada laci sesak memori

Risalah 1433 Hijrah (Tentang Tuhan, Agama, dan Kekasih-Nya)


Hari Raya Haji

*M.G. Kurniawan
Lagi-lagi masih di jalur besi
Melihat dan menilik langkah gontai
Inspirasi
Guratan kelu parasmu
Menancap tepat di ulu hatiku
Begitu menenangkan, teduh
Polos wajahmu lugu
Khas manusia yang belum punya pengaruh
Namun... lucu
Tetes peluhmu menganak sungai
Melukiskan betapa hatimu permai
Nafkah, tak pernah lalai
Benar-benar menantang
Hijabmu begitu jalang
Apa menariknya perempuan telanjang
Masih dengan hamparan hijau
Mendengar dan terngiang
Gesekan peluru kemarau
Parau

Risalah 1433 Hijrah (Tentang Tuhan, Agama, dan Kekasih-Nya)


Let's Say it's From My Mom

*Irene Kurniawan

Hallo Mam?
How are you? Fine, right?
I just wanna tell you about something
I just wanna say that i love your daughter so damn much
Everydays, everyhours, everysminutes, everyseconds
More, more, more, and more
Now Mam!!
In front of your grave, i promise
I promise that i will protect her
I will protect your lovely sign
With all of my power
my mind, and
my heart too
I promise Mam!!

Buat Niluh


Sepotong Bulan di Leher Patung

*M.G. Kurniawan


Bukan karena kau  menawan
Lantas hatiku tertawan
Nyatanya wajahmu sama sekali tak rupawan

Bukan karena kau ramah
Lantas jiwaku terjamah
Nyatanya kau wanita pemarah

Bukan pula karena kau sama
Lantas aku terpana
Nyatanya kau berbeda

Pernahkah kalian berfikir,
Mengapa Tuhan menciptakan masing-masing dari kita berbeda?

Pernahkah kalian berfikir,
Mengapa Tuhan menciptakan masing-masing dari kita tak sama?

Pernahkah kalian berfikir?

Tidak perlu kau jawab kawan, dua pertanyaan bodoh diatas
Karena sesungguhnya Tuhan Maha Adil
Tuhan menciptakan kita semua sama
Tuhan tak pernah menginginkan kita berbeda

Lalu mengapa ada perbedaan?
Tepat!
Kita sendiri lah yang membuat perbedaan itu ada
Kita sendiri yang memilih jalan masing-masing
Kita sendiri yang memilih jalur menuju Tuhan
Kita sendiri yang memilih
Kita sendiri yang memilih

Sekarang justru perbedaan yang manusia ciptakan sendiri
Membuat batasan-batasan absurd
Seolah ada dinding baja tinggi besar yang menghadang

Manusia saling membunuh dengan alasan berbeda keyakinan
Manusia saling memfitnah dengan alasan berbeda kepentingan
Manusia saling mencaci dengan alasan berbeda suku bangsa

Bukan ini!
Bukan ini yang Tuhan mau!

Tuhan membebaskan kita memilih jalan masing-masing
Tuhan membebaskan kita berbeda
Tuhan memberi lima pilihan jalan hidup
Tuhan memberi lima pilihan benua untuk ditinggali
Kebebasan yang Tuhan berikan
Bukan berarti kita boleh seenak jidat buat keputusan

Lalu mengapa kalian cerca aku
Ketika bibir ini mengucap cinta kepadanya?
Apa yang salah?
Karena dia berbeda?
Apa karena dia menyembah patung?
Atau karena otak kalian sudah bobrok?

Cobalah renungkan!
Ini hidup siapa yang menjalani?
Kalau terjadi apa-apa siapa yang menanggung?
AKU! BUKAN KALIAN!

Lantas mengapa kalian bersikap seolah hidupku ada di tangan kalian?
Mengapa kalian bersikap seolah paling berhak menentukan mana baik mana buruk?
Tuhan yang berhak atas hidupku
Tuhan yang berhak tentukan mana baik mana buruk

Persetan dengan sumpah serapah
Omong kosong soal benar dan salah
Omong kosong soal keyakinan
Persetan dengan moral
Omong kosong soal kepatutan
Persetan dengan kalian
Omong kosong soal keyakinan

Aku mencintainya
Aku mencintainya

Dan kelak jika waktunya telah datang
Akan kukalungkan sepotong bulan di leher patung yang menggantung

Rabu, di Penghujung Mei

Ojo Wedi Dadi Abang!


Kembali ke 10 Mei 2001

*M.G.Kurniawan

Merah adalah warna kebanggaan kami
Merah adalah warna yang menyala
Ketika tim kesayangan kami bertanding
Merah adalah warna yang memenuhi tribun penonton
Gelora Delta
Merah adalah kartu yang dikeluarkan sang pengadil lapangan
Ketika lawan berlaku kasar
Merah adalah yang menutupi segarnya hijau
Ketika ada biru berkhianat

Biru adalah warna yang paling kami benci
Karena baru saja mereka mengotori rumah kami
Biru adalah semut diantara para gajah di tribun penonton
Gelora Delta
Biru adalah warna yang paling kami benci
Karena baru saja mereka bukan hanya mengotori rumah kami
Mereka merusak, menjarah, dan membakar tempat kami berlindung
Sekalipun saat itu aku masih kecil
Namun aku bisa merasakan kegeraman orang yang lebih tua dariku
Apa perasaan kalian jika rumah kalian diperlakukan seperti itu?
Diam atau memberontak?
Saat itu yang kupilih adalah memberontak
Dengan merah masih membara dalam jiwaku
Ku pungut satu demi satu apa saja yang bisa meremukkan biru
Kebanyakan batu, hitam

Hitam adalah warna batu pertama yang aku lemparkan
Tidak perduli kena atau tidak
Setidaknya hitam mampu sedikit meredam
Amarah merah pada biru
Hitam adalah baju yang dikenakan anak itu
Seusia denganku
Namun warna tak sanggup berbohong
Biru menyembul liar dari hitam
Hitam adalah warna kulit anak itu
Setelah ku berondong dengan pukulan, batu, dan air ludah
Agak rancu
Antara hitam, biru legam, merah darah, dan putih bening

Putih adalah sebenar-benarnya hati kami
Namun seperti halnya kafan
Akan berbaur dengan tanah hitam penuh murka
Ketika ditindas
Putih adalah kesejukan yang menyeruak ketika kami melihat hijau

Hijau adalah sebenar-benarnya sahabat kami
Tanpa pandang bulu
Hijau adalah teman kami sepermainan
Hari ini mereka entah datang dari mana
Ikut meremukkan biru dengan kalap
Sepertinya mereka merasakan hal yang sama dengan kami
Marah
Hijau adalah penyelamat kami
Jika mereka tidak tampak
Bukan hanya baju yang kami kenakan yang berwarna merah
Tetapi sekujur tubuh akan memerah dalam lautan darah
Terima kasih hijau

Dan untuk kau biru
Kami maafkan
Tapi tidak untuk melupakan
Untuk Deltamania yang masih mengenakan JAS MERAH

Senandung Cinta


DINDA

Oleh: M.G. Kurniawan
dinda
Kalau kau tanya mengapa sampai saat ini aku masih getol mengungkapkan kata cinta kepadamu,
Maka dengan yakin akan kujawab
Batu yang dikikis air lama kelamaan pasti meninggalkan lubang
Begitu juga dengan hatimu
dinda
Akan ku ukir sebanyak mungkin kenangan indah bersamamu
Setelah itu aku akan lega
Setidaknya ketika kita tidak lagi bersama
Kau masih bisa mengingat sedikit tentang ku
dinda
Kalau benar nanti kita tidak ditakdirkan bersama
Jangan sekali-kali kau ucap kesal
Karena sudah ratusan bahkan ribuan kali kutawarkan padamu
Istana indah nan sejuk
Sekalipun hanya beratap jerami, berdinding bambu, dan beralas tanah
dinda
Silahkan jika kau menganggapku seperti orang tolol
Yang tidak tahu diri
Silahkan jika menyamakanku dengan pungguk merindukan bulan
Aku tidak perduli
Bagiku siapapun pantas mencintai dan dicintai
Tidak perduli kaya miskin
Jelek rupawan
Itu tidak penting
Yang penting aku tulus lagi ikhlas
dinda
Pernahkah kau berpikir
Bahwa namamu selalu kuselipkan dalam setiap doa selesai salat
Diantara nama keluargaku
Bahwa setiap senja aku melihat jingga
Hanya wajahmu lah yang terukir
Bahwa setiap lagu yang ku nyanyikan
Bak pujian untuk setiap inci dalam dirimu
Bahwa ketika aku mencintaimu
Aku belajar ilmu ikhlas dan nedho nerimo
Menerima setiap keputusan yang kau ambil
Apapun yang kau putuskan
Baik atau buruk untuk ku
Yang jelas aku akan tetap menunggumu
Untuk waktu yang sangat lama
Atau kau ingin aku menunggumu selamanya?

Untuk sahabatku yang sedang dalam masa penantian

Hidup Mahasiswa!!!


Ini adalah puisi pertama yang saya tulis sekaligus saya bacakan. Kali pertama membaca puisi sungguh luar biasa. Tangan tidak berhenti bergetar, kaki rasa-rasanya mau copot, dan mata selalu meminta untuk tertutup. Di hadapan hampir 1000 mahasiswa, akhirnya puisi ini selesai saya bacakan sampai kata terakhir. Dan. . . Sukses Besar !!

Berontak atau Terinjak

*M.G. Kurniawan
Kawan,
Aku akan sedikit bercerita kepadamu
Tentang kegundahan yang meracuni nuraniku
Akhir-akhir ini
Tidak perlu berlama-lama
Kita mulai saja      
***
Seorang teman pernah bertanya
Untuk apa kau kuliah?
Dengan enteng aku menjawab
Untuk mencari pekerjaan
Bodoh!!
Dia menghardikku dengan keras
Untuk dapat nilai bagus

Tolol!!
Dia menghardikku lebih keras
Aku bingung bukan main
Karena memang setahuku mahasiswa ya seperti itu
Kuliah adalah sayembara berhadiah nilai
Ketika mendapat hadiah, akan diganjar pekerjaan
Lalu aku bertanya apa maksudnya mengaggap aku bodoh lagi tolol
Dia mulai bercerita
Bahasanya halus, tertata, dan penuh pertimbangan
***
Maaf karena telah mengaggapmu bodoh lagi tolol
Namun memang seperti itulah kenyataannya
Kau terkungkung dalam kubangan hasrat
Hasrat untuk dapat nilai apik, untuk pekerjaan
Hanya saja kau menyalurkan hasratmu dengan cara yang kurang elok
Kau menghalalkan segala cara untuk dapat meraihnya
Mencontek, Ngerepek, atau memberi beberapa rupiah pada dosen
Bukan seperti itu kawan, bukan!
Merugilah kalau itu benar yang kau pikir dan lakukan selama ini
Kita ada disini untuk banyak alasan
Salah satunya mengontrol konstelasi perkembangan bangsa
Tidak hanya mendewakan nilai
Mau tidak mau, suka tidak suka kita adalah motor penggerak
Yang mengakomodir kepentingan rakyat
Kita adalah wakil yang lebih baik daripada mereka yang mendekam di Gedung Keong
Kita adalah corong perubahan
Kita adalah mercusuar
Kita adalah pengadil
Kita adalah mahasiswa
Sayangnya kita lebih memilih apatis
Kita tenggelam dalam rutinitas belajar yang memang sudah dikondisikan seperti ini
Rutinitas dibuat sedemikian padat agar kita tidak lagi vokal
Agar mulut kita terkunci
Agar kita letih
Agar apa yang kita pikirkan hanyalah bagaimana mendapatkan nilai sebaik-baiknya
Tidak perduli bagaimana caranya
Sekarang bom sudah ada di tangan kita
Terserah mau kita apakan
Mau kita lempar kepada pemangku jabatan
Agar mereka tersentak dan sadar akan kelicikannya
Atau hanya akan menjadi pajangan di etalase bernama kemunafikan
Ada cara agar kita benar-benar disebut sebagai motor perubahan
Kalau memperingatkan deadlock
Silahkan dialog
Kalu dialog mentok
Silahkan saling tonjok
Kalu tonjok masih kurang menohok
Silahkan berbuat anarkis dan hancurkan semua yang menurut kita kurang elok
Namun itu adalah selemah-lemahnya iman perjuangan mahasiswa
Pertengahan bulan sembilan, dini hari

MATARMAJA


MATARMAJA

*M.G. Kurniawan
“Seteroberi, seteroberi, seteroberi”
“Anggure uireng uireng, anggure”1
“Roti goreng bantal guedhi guedhi, mek sewuan roti goreng”2
Suara asongan kereta yang aku naiki. Bersahutan, beriringan, sekali waktu terasa berebut paling keras.
****
Hal ini biasanya ku dengar ketika si kuda besi mulai menjamah sekitar Krian. Merdu. Iya kawan, sangat merdu. Bukan karena enak didengar, bukan. Jujur saja itu sangat mengganggu bagi orang yang akan menjalani perjalanan jauh sepertiku. Namun bagaimana suara tersebut terdengar begitu tulus, ikhlas, dan tanpa tendensi apapun. Kecuali tanggung jawab untuk menafkahi orang-orang tersayang. Kebanyakan dari mereka laki-laki, paruh baya. Namun ada beberapa pula perempuan, bisa dihitung dengan jari.
Gorengan, buah, cindera mata, nasi bungkus, es teh. Semuanya ada, lengkap. Salah satu alasan mengapa aku memilih kereta daripada moda transportasi lain. Selain karena harganya yang pas untuk ukuran kantong orang-orang sepertiku, kereta adalah representasi bangsaku. Di dalamnya terdapat orang-orang yang luar biasa. Ada yang dengan langkah gontai menggotong nampan berisi ratusan kue. Ada yang suaranya sampai terdengar samar karena terlalu banyak berteriak.. Ada yang bercengkerama ramah dengan orang-orang sepertiku. Benar-benar manfaat. Kalau aku bosan ngobrol aku beralih memandang ke luar jendela kereta. Untuk sekadar menghirup udara segar. Untuk meresapi goresan karya Tuhan yang membentang di setiap jengkal tanah sepanjang jalur rel kereta.
***
Hanya beberapa meter dari rel, terhampar persawahan luas nan hijau. Padinya tumbuh subur dan sehat. Sepertinya hama enggan mampir. Pematangnya dipenuhi pohon-pohon berbuah. Kalau biasanya, di sawah desaku hanya ada pisang. Disini lebih beragam. Ada


mangga, jambu, pepaya. Ada juga yang ditanami dengan singkong dan talas. Umumnya petani memanfaatkan pematang untuk ditanami dan hasilnya akan dikonsumsi sendiri. Sehari-hari. Untuk mengurangi pengeluaran segala tetek bengek urusan perut. Sungguh cerdas, cerdas sekali. Syukur-syukur kalau hasil pematang sawah melimpah. Biasanya mereka jual sisa konsumsi ke pasar, untuk kemudian hasilnya ditabung. Dan suatu saat jika sudah terkumpul banyak, kemudian akan digunakan untuk merenovasi rumah. Sangat brilian. Benar-benar penerapan konsep manajemen yang sederhana namun mengena.
Sesekali aku melihat gerombolan buruh penggarap sawah. Berkerumun di saung. Oh, ternyata mereka sedang rehat, sejenak. Untuk sekadar melepas penat dan melahap bekal yang dibawah dari rumah. Ada beberapa yang memanfaatkan waktu rehat untuk bermain. Karaban kerbau. Jika biasanya sapi, disini kerbau yang ditandingkan. Berteman dengan kutu-kutu yang menempel di punggung kerbau. Bermandikan lumpur. Tertawa, terbahak, dan tersenyum lembut. Aku melihat ada kebersamaan yang erat diantara mereka. Berbagi bekal. Bertukar lelucon. Sama sekali tidak tampak gurat letih terpampang di wajah mereka. Maklum saja kawan, kondisi bangsaku sedang kondusif. Apalagi bagi para petani. Presiden saat ini benar-benar mengerti. Mengerti bahwa bangsaku adalah negara agraris. Oleh karenanya, beliau dengan tegas menjadikan sektor pangan sebagai prioritas dalam kebijakan negara. Kemajuan pangan juga diikuti dengan nasib petaninya. Harga jual hasil tani ditingkatkan.Yang berarti jaminan bahwa asap di dapur petani masih akan mengepul. Setidaknya untuk waktu yang sangat lama.
Pandanganku kualihkan ke bagian yang lebih dekat dengan rel. Kedua bola mataku agak ku condongkan ke bawah. Saluran irigasi. Lagi-lagi aku berdecak kagum.Aku tidak hanya melihat ciprat bening air yang mengalir deras. Aku melihat banyak sekali tenggakan ikan. Sepengetahuanku tenggakan seperti itu hanya ikan nila yang bisa melakukannya. Ternyata pemikiran petani sudah jauh melampaui imajinasiku. Yang selama ini diajarkan guru kepadaku, irigasi adalah sistem pengairan yang menunjang sawah agar hasil produksi kualitasnya lebih baik. Nyatanya petani tidak hanya memanfaatkan irigasi sebagai sistem pengairan, lebih dari itu. Mereka memanfaatkannya untuk beternak ikan. Mereka benar-benar paham, bahwa ikan akan tumbuh sehat dan segar hanya pada kondisi arus air yang kencang. Darimana mereka tahu itu semua? Tentunya dari sekolah dongKan, mereka rata-rata minimal tamat SMA.
ciiiiiiittttttttt”
Tiba-tiba kereta berhenti. Aku melihat rel ganda. Aku mahfum. Kereta yang aku naiki adalah kelas Ekonomi. Harus mengalah dengan Bisnis dan Eksekutif. Ya, bagi orang-orang sepertiku, cukuplah kereta murah ini mengantar sampai tujuan. Tidak perduli seberapa lama.
Keterkejutanku tidak sampai disini kawan. Di salah satu petak sawah, ada yang hanya dibiarkan berisi air. Sama sekali tidak ditanami. Terlebih lagi warna airnya mengguratkan bahwa tempat itu dalam. Lagi-lagi, sesekali aku melihat tenggakan ikan. Bukan nila, sepertinya lele. Namun, bukan itu yang mencuri perhatianku dan memantik keterkejutanku. Tepat di atas genangan air tersebut dibangun kandang ayam yang terbuat dari anyaman bambu dan beberapa kayu, sepertinya bekas. Jika biasanya kandang ayam di bagian bawahnya akan dipasang kawat agar kotoran tidak terlalu mengotori tanah, ini beda. Setelah bambu tidak ada lagi kawat pengahalang. Yang artinya kotoran ayam akan tercebur ke dalam sawah, atau lebih tepatnya kolam lele. Ting!!!! Aku baru ingat kalau lele adalah salah satu ikan paling rakus di dunia. Apa saja dimakan. Pelet, cacing, daging, dan kotoran, semuanya. Bahkan kotorannya sendiri sekalipun. Benar-benar canggih. Aku baru ngeh sekarang. Ternyata petani sengaja mendesain tempat tersebut seperti itu. Kolam lele dengan kandang ayam di atasnya. Dengan begitu pengeluaran untuk pakan lele akan sedikit berkurang.
Pandanganku tersapu dan beralih ke beberapa petak sawah lain. Aku mencoba mengamati seawas mungkin. Barangkali ada kejutan lain siap menyapa.
***
Ciiiitttt, jeddduuuggg
Keningku mencium jendela kereta. Sepertinya kereta berhenti. Pasti ada sesuatu penting yang terjadi, sehingga kereta berhenti di tempat yang tidak semestinya. Setahuku, Stasiun Surakarta masih sangat jatuh. Aku keluar mengekor penumpang lain. Dengan masih memegang keningku yang sedikit memar, aku menengok kesana kemari.
“Nyuwun sewu Pak, ono opo iki kok sepure mandek?”3
“Wah, aku dewe ra ngerti e mas. Sampean coba takok wong-wong iko loh!”4
Dan kuputuskan untuk melangkah ke arah kerumunan orang-orang sepertiku. Setelah berada di gerombolan manusia yang menyemut. ...Ternyata ada yang tertabrak kereta dan

 tewas ditempat. Jaraknya sekitar dua meter dari rel. Namun aku tidak lagi bisa memandang wajah malang itu. Jenazahnya tertutup daun pisang yang banyak tumbuh di pematang sawah. Yang jelas dia adalah petani. Terlihat dari caping dan cangkul yang berada tidak jauh dari jenazahnya. Banyak spekulasi berkembang diantara penumpang kereta. Termasuk aku. Petani ini tertabrak atau menabrakkan diri?
Namun setelah beberapa saat, akhirnya spekulasi itu terjawab sudah. Seorang bocah, kira-kira usianya tujuh tahun, menemukan sebuah surat tepat di bawah cangkul si petani malang. Tertindih. Kertasnya usang, sepertinya kertas bekas. Karena bocah tersebut berada di dekatku, dengan jelas terlihat apa yang tertulis dalam surat itu. Tulisannya tidak beraturan besar kecilnya. Sepertinya yang menulis sedang dalam kondisi hati yang sangat gundah. Namun jelas sekali tertulis
“SIAPAPUN YANG MEMBACA SURAT INI, KALIAN SEMUA TIDAK ADA BEDANYA DENGAN SETAN!!!”
***
Setelah selesai membaca surat getir nan singkat itu, barulah aku yakin bahwa tadi aku sedang bermimpi. Bermimpi tentang bangsaku. Lima tahun, sepuluh tahun, atau mungkin seratus tahun ke depan. Ah sial! Tampaknya tidak akan pernah terjadi.

Untuk saudaraku yang tidak tahu caranya mencintai Indonesia.


Mencari Tuhan


Kecuali Tuhan

M.G. Kurniawan
Kun fayakun
Jadi, maka Jadilah!
Alam semesta berikut isinya
***
Embun tentunya enggan
Melumuri dedaunan,
tanpa seizin Tuhan
Terik pastilah sungkan
Membakar rerantingan
Kecuali atas titah Tuhan
Bulan jelas gamang
Mengukir langit benderang
Kalau Tuhan menganggapnya lancang
Fajar ragu menantang
Lolongan jago yang terdengar jalang
Jika Tuhan tegas melarang
***
Tak ada sebongkah batu memasir
Kecuali atas kehendak Tuhan
Tak ada setetes air mengalir
Tanpa sepengetahuan Tuhan
Tak ada!
Tak ada!
Tak ada!
***
Gunung musykil meledak
Tanpa amarah Tuhan
Laut mustahil murka
Tanpa amuk Tuhan
Tanah tak mungkin berguncang
Tanpa laknat Tuhan
Selalu ada alasan!
Kita, manusia, terlalu naif
Berfikir bisa melakukan segalanya
Dengan tidak melibatkan Tuhan
Kita, manusia, terkesan munafik
Dalam hati meyakini Dia ada
Namun, asma-Nya selalu tercekat di kerongkongan
Kita, manusia, terlalu kurang ajar
Bahkan masih banyak hal menyita logika, yang lebih dianggap penting
Dibanding Tuhan
***
Guratan tinta ini tak akan meresap
Kecuali Tuhan
Jeritan doa ini tak akan terdengar
Kecuali Tuhan
Maksud hati tak akan sampai
Kecuali Tuhan
Kita semua adalah Tuhan,
Bukan begitu?

Cinta di Atas Bulan Salib


Cinta di Atas Bulan Salib

*M.G. Kurniawan
“Ketika saatnya nanti, akan ku sandarkan bahtera ini pada pelabuhan penuh sekat kegairahan. Sambil berharap, cinta yang mengembangkan layar kasih berlandaskan fondasi kokoh bernama keikhlasan. Namun, manusia tetaplah manusia. Nafsu masih akan menyeruak liar diantara putihnya nurani. Nafsu mencintai, nafsu memiliki, nafsu menguasai, nafsu mengambil alih, nafsu mendominasi, nafsu, nafsu, dan nafsu.”
***
“Iling-iling yo le, sak becik-becike menungso iku mono seng ngerawuhake manfaat gawe menungso liyane.”
“Inggih Mbok. Kulo nggih nyuwun pangapunten menawi ngelakoni penggawean ingkang nggarai panjenengan khawatir.”
“Iyo le. Wes pokoke lek kape lapo-lapo dipikir disek. Ojo nuruti nafsu ongkoro. Lek pancen gak ngerti opo-opo yo gak usah ngomong opo-opo.”
Ternyata dialog dadakan di surau subuh ini berbuntut panjang. Faris yang masih terhitung pupuk bawang dalam urusan agama berani adu argumen dengan salah satu ulama terpandang Desa Waliman, Gus Top. Berawal dari rasa ingin tahu yang membuncah, Faris menanyakan salah satu bab paling sensitif dalam urusan agama. Menjalin cinta beda keyakinan. Gus Top dan beberapa warga Desa Waliman yang kebetulan jamaah subuh di surau dengan tegas menyuarakan bahwa itu salah. Haram hukumnya seorang Muslim menikah dengan yang bukan bagian dari Islam. Dengan berondongan ayat suci Quran, penuh wibawa Gus Top mencecar Faris dengan jawaban yang terkesan mengintimidasi. Jiwa muda Faris pun terusik, pertahanannya roboh. Dengan sekali ayunan tangan penuh murka, Faris berhasil membuat mulut Gus Top bersimbah darah. Merah darah bercampur tetes peluh jadi satu, menodai kesucian rumah Tuhan. Menodai titah, bahwa utamakanlah bermusyawarah. Bukan saling menghunus amarah.
***
Bukan tanpa alasan Faris bertindak gegabah seperti itu. Saat ini Ia sedang menjalin asmara dengan seorang Kristen, Herlen. Mereka bertemu ketika selesai melakukan ritual ibadah masing-masing. Ya, di Desa Waliman, Masjid dan Gereja Kristen letaknya bersebelahan. Hanya dipisahkan oleh makam kecil yang berisi nenek moyang warga Desa Waliman. Kali pertama bertemu pandang, Faris terlihat seperti orang gila. Kesadarannya tercerabut entah kemana. Matanya melotot tajam, giginya bergeretak, dan kakinya tidak berhenti bergetar. Seperti melihat bidadari saja. Tetapi memang itulah yang dirasakan Faris. Bagi Faris, Herlen tak ubahnya seperti bidadari. Rambut hitam panjang terurai, senyum manis yang selalu merekah, lesung yang menambah nilai artistik wajah Herlen, serta aura kedamaian yang tanpa paksaan terpancar dari wanita ramah tersebut. Sementara Herlen? Bersikap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa dalam dirinya. Padahal, Herlen merasakan sendiri betapa hebat getaran hati yang bergenderang ketika wajah teduh Faris tepat berada hanya beberapa meter dari kelopak matanya. Ya, seperti itulah wanita. Penuh misteri.
Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan hati masih bergetar hebat. Herlen merebahkan dirinya ke kasur dengan perasaan tak terkira bahagianya. Belum pernah sebelumnya ia merasa seluar biasa ini ketika saling pandang dengan seorang pria. Faris? Tak jauh berbeda. Berkali-kali Ia lantunkan asmaul husna sebagai wujud kekaguman kepada Tuhan atas ciptaan-Nya yang begitu elok.
Entah bagaimana mulanya, Faris dan Herlen semakin hari semakin intim. Faris setia menunggu Herlen setiap minggu pagi ketika sang bidadari berlutut kepada Yesus. Herlen lebih gila lagi. Ia menunggui Faris setiap lima waktu sehari ketika sang pujaan hatinya bersimpuh takzim kepada Allah. Biasanya tempat favorit mereka berdua ketika menunggu satu sama lain adalah makam nenek moyang Desa Waliman. Disitu memang bercokol satu pohon beringin nan rindang, yang dibawahnya terletak tempat duduk nan nyaman. Terbuat dari bambu, tapi cukup lah sebagai tempat bersandar ketika dalam masa penantian.
Kok sudah keluar Ris? Nggak biasanya kamu selesai salat secepat ini.”
“Sengaja Len, karena ada satu hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu.”
“Soal apa?”
“Sudahlah, ikut saja dulu.”
Sempoyongan Herlen mengejar derap kaki Faris yang gamang. Antara berjalan atau sedang berlari kecil. Sampailah mereka tepat di depan rumah Faris dengan Herlen masih bertanya-tanya apa maksud semua ini?
Duh nduk, makin cantik saja wajahmu. Semakin taat ya ibadahnya?”
“Ah Mbok, sekadar menjalankan kewajiban sebagai penyebar kasih.”
“Mbok, kok malah diajak ngobrol disini? Herlen ini tamu istimewa loh. Ayo kita jamu di dalam saja.”
Herlen semakin penasaran. Ada apa ini? Tetapi untuk urusan keakraban Faris dan Mbok Jum, Herlen sudah tidak lagi heran. Ini bukan kali pertama Ia bertamu ke rumah Faris. Jadi, sedikit banyak Ia mengetahui bagaimana hubungan Faris dan Mbok Jum adalah multifunction relationship. Di satu waktu mereka terlihat seperti Ibu dan Anak. Sekali waktu terlihat seperti seorang teman. Ada juga saat-saat dimana mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Namun, sebenarnya hubungan Faris dan Mbok Jum bukan salah satu diantara ketiganya. Mbok Jum adalah sahabat keluarga Faris.
“Ris, tolong ambil teh sama tekonya di dapur, di samping kulkas!”
“Iya Mbok, ini Faris masih cuci muka.”
“Mbok, memangnya ada maksud apa ya Faris mengajak saya kesini? Apalagi tadi waktu perjalanan terlihatkesusu.”
“Oalah Len, mengko wae lek Faris wes nang kene.”
Faris datang dengan raut muka riang, seperti anak kecil baru dibelikan mainan kesukaannya. Perlahan teko beserta cangkir diletakkan di meja tempat Mbok Jum dan Herlen sedari tadi ngobrol ngalor-ngidul.
“Ris, bagaimana jamaah tadi, ramai?”
“Ah Mbok ini. Herlen tambah penasaran, jangan bahas yang lain ah! Bahas yang tadi Herlen tanya saja!”
“Memang Herlen tadi tanya apa Mbok?”
“Itu tuh. Maksud kamu ngajak Herlen kesini sambil lari kesetanan itu.”
“Ooooohhh. Mau jawaban yang to the point atau yang kesana kemari?”
To the point dong!”
“Jadi begini Len. Mungkin dirasa terlalu cepat, tetapi aku ingin bersikap sebagaimana adanya. Berujar sejujur mungkin. Emh... Aku mencintaimu! Aku ingin menjadikanmu sebagai ibu dari keturunanku nantinya.”
“Hahahahahaha. Bisa saja kamu bercanda Ris!”
“Aku belum selesai bicara. Aku serius! Jika senyummu sudah menancap di hatiku, jangan salahkan aku kalau jiwa ini berani merindukanmu. Aku hanya akan memeberikan dua pilihan. Iya, iya! Tidak, Tidak!”
Begitu lugasnya kata cinta yang keluar dari bibir polos Faris, hingga membuat kerongkongan Herlen tercekat hebat. Rasa-rasanya pita suara menyimpan sejuta nuklir yang siap meledak. Namun ada hal yang menahan sehingga ledakan itu tak terjadi.
“Aku... Aku bingung. Aku tak tahu apa yang harus ku katakan atas tawaranmu. Yang pasti, aku bahagia menjalani detik akhir-akhir ini berada di dekatmu. Aku belum pernah seriang ini. Aku belum pernah ketika bangun tidur, rasanya ada ribuan stimulus menyuntikkan virus semangat menjalani belasan jam selanjutnya. Aku belum pernah. Kamu Ris, Kamu penyebab semua ini. Kamu adalah alasan atas setiap senyum yang mengembang di bibirku.”
***
Selihai-lihai burung berkicau, ada saatnya mereka diam. Sekeras apapun singa mengaum pasti ada saatnya mereka berujar serak. Selirih apapun kicauan semut, pasti akan terdengar. Sekalipun hanya Tuhan yang bisa melakukannya. Lambat laun hubungan yang disimpan rapi dalam bingkai keakraban antar sesama manusia tercium sudah kejanggalannya. Banyak warga Desa Waliman mulai mengendus bahwa hubungan antara Faris dan Herlen lebih dari sekadar hubungan sesama warga masyarakat. Banyak diantara mereka mendapati Herlen berkunjung ke rumah Faris ketika hari sudah larut, begitu sebaliknya.
Atas inisiatif pentolan warga Desa Waliman, Gus Top, disusunlah rencana untuk “menggerebek” kebersamaan Faris dan Herlen yang dirasa menyalahi norma. Semuanya dirancang sedemikian rapi hingga semua diantara mereka yakin tidak ada celah untuk Faris dan Herlen mengelak. Hari yang ditunggu tiba. Waktu yang dinanti datang!
“Pyaarrrr!”
“Brakkk!”
“Pyaarrrrr!”
“Jedduuuuugggg!”
“Ciiittttt!”
Goresan parang menyayat pelataran rumah Faris yang tertutup marmer. Benturan batu sebesar tengkorak bayi dengan kaca yang menghias teras depan tak terhindarkan. Gedoran pintu yang membabi buta terdengar penuh amarah. Amarah setan!
“Woy keluar woy! Jangan teruskan maksiat mu di tempat laknat ini!”
“Munafik! Keluar dan tatap wajah kami. Tunjukkan mukamu yang bermuka dua itu!”
“Laknatullah!”
“Laknatullah!”
“LAKNATULLAH!”
Angkara murka yang menjangkit setiap hati buta warga Desa Waliman tak terbendung. Kalau bukan Faris, berarti Herlen yang harus dihabisi malam ini. Harus ada salah satu yang diberangus, dua-duanya lebih baik. Bagi mereka kemunkaran harus benar-benar musnah dari muka bumi.
“Len. Pergilah lewat pintu belakang. Mbok bisa menemanimu.”
“Tak akan Ris, aku tak akan pernah meniggalkanmu sendirian di tengah amuk salah alamat mereka.”
“Aku juga tak akan pernah merelakanmu jadi santapan hewan-hewan buas di luar sana. Pergilah!”
“Tapi Ris.”
“Sudahlah, apapun itu aku tetap mencintaimu.”
Herlen dengan berat hati mengekor langkah gontai Mbok Jum pergi dari rumah Faris lewat pintu belakang. Raganya jauh sudah meninggalkan, tetapi hatinya masih tertinggal di rumah Faris.
“Ada apa ini? Bertamu ke rumah orang dengan cara yang tidak patut.”
“Alah tak usah kau ceramahi kami, ceramahi dirimu sendiri! Sudah benar belum?”
“Maaf, bisa langsung ke pokok permasalahan?”
“Kami sudah menganggapmu bukan lagi bagian dari kami. Oleh karenanya, kamu harus dimusnahkan dari muka bumi!”
“Apa maksud Gus? Aku sudah bukan lagi bagian dari Desa Waliman? Bagaimana bisa? Sudah dua puluh tujuh tahun aku hidup dari Desa ini. Semuanya ku anggap saudara. Dan sekarang yang ku anggap saudara dengan seenak jidat menjamah dan merusak kediamanku dengan brutal, membabi buta, terlebih lagi tanpa izin. Apa itu Gus anggap lebih mulia daripada aku yang menjalin cinta dengan Herlen?”
“Hahahaha. Naif sekali kau bocah! Kau Cuma orang baru dalam dunia agama, belum menguasai bahkan setetes air pun dari samudera ilmu agama yang tak berbatas. Kau juga secara garis keturunan sama sekali bukan salah satu di antara kami. Kau bukan putra Waliman!”
***
Ketika itu pertengahan 1985, di sebuah simpang Desa Waliman. Terjadi kecelakaan mahadahsyat yang melibatkan tiga kendaraan sekaligus, truk pengisi bahan bakar, sepeda motor butut, dan sebuah mobil Timor. Semua yang ada dalam truk dan mobil selamat dengan hanya luka ringan. Yang jadi masalah adalah tiga manusia yang berada di atas motor butut. Pasutri berikut bayinya yang masih berusia belum genap sebulan. Suami malang tewas ditempat dengan usus semburat menyembul dari pusar. Si Istri meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena pendaharan hebat di kepala. Bayi lucu nan mungil itu? Ajaib, selamat! Tanpa satu inci pun bagian tubuhnya tergores. Secara logika, harusnya si bayi adalah korban yang paling parah keadaannya karena secara usia tubuhnya belum siap mengalami guncangan seberat ini. Namun logika manusia akan dan selalu mentah di tangan Tuhan. Lewat titah takdir yang tertulis, setiap detail kejadian jagad raya beserta isinya sudah tertulis bahkan jauh-jauh hari sebelum alam semesta terbentuk. Bayi itu kini yang dikenal oleh seluruh warga Desa Waliman dengan nama Faris. Ya, Faris. Ternyata Mbok Jum sama sekali bukan sahabat keluarga Faris seperti yang diketahui sebelumnya. Mbok Jum adalah janda yang diamanati Gus Top, pada waktu itu, untuk merawat bocah malang yang baru saja menjadi sebatang kara. Keluarga Faris sebenarnya berasal dari Dusun Aswad, sekitar sepuluh kilometer ke utara dari Desa Waliman.
Yang menjadi pokok bahasan adalah Faris bukan putra Waliman! Dia lahir bukan dari tempat yang sekarang ditinggalinya. Dia ditipu oleh seluruh warga Desa Waliman perihal asal usulnya.
***
“Itulah sebabnya sedari awal aku tidak menganggapmu bagian dari kami karena memang itu realitanya.”
Faris hanya bisa menjawab dengan derai air mata yang menganak sungai. Suara lugasnya lenyap seketika. Tidak ada lagi kekuatan yang menopangnya untuk berdiri, saat ini. Faris pingsan.
***
“Sudah siuman kamu le?”
“Dimana aku sekarang?”
“Sedang di rumah salah satu kerabat Mbok, daerah Kepetingan.”
“Mbok?”
“Iyo le?”
“Mengapa Mbok sampai hati bersilat lidah kepada Faris? Sebegitu hinakah Faris bagi Mbok, hingga untuk berkata jujur pun itu serupa mengangkat puluhan ton baja hanya dengan satu jari?”
“Sebelum Mbok jawab, Mbok nyuwun pangapuro ingkang katah Ris. Mbok tahu, Mbok salah. Namun, ada satu alasan Mbok berlindung di balik topeng palsu bernama kebohongan ini. Mbok jujur sangat sayang kepadamu. Mungkin Gus Top sudah cerita banyak tentang Mbok. Ya, Mbok ini janda. Sebelum suami Mbok memberi Mbok keturunan, beliau sudah lebih dulu mengahadap Gusti Pangeran. Itulah sebabnya Mbok sangat mencintaimu, karena bagi Mbok kamu sudah seperti anak Mbok sendiri. Mulai dari usia belum genap sebulan kamu sudah lengket di pelukan Mbok. Dan ketika tiba saatnya kebenaran terkuak, saat ini, Mbok berharap tidak ada niat secuil pun dari hatimu untuk meninggalkan Mbok! Mbok mencintaimu, sangat mencintaimu.”
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya Faris menjawab dengan dentuman air mata yang menghunus ganas menyembul liar. Lantas menghambur ke pelukan Mbok. Sesaat setelah itu, tercium aroma peluh yang memeliharanya hingga sebesar ini. Terlihat begitu banyak cahaya putih bernama cinta yang menemaninya tumbuh. Tergambar gurat wajah tulus Mbok Jum yang dengan ikhlas menganggapnya dan membesarkannya laiknya anak kandung Mbok sendiri.
“Oh iya, sebelum Herlen pulang dia nitip ini ke kamu.”
Mbok Jum menyerahkan sepucuk surat beramplop coklat yang di depan kanan atasnya tertulis, Untuk: Permadani Cintaku. Faris dengan cekatan meraih surat itu dari tangan Mbok.
“Herlen pulang? Kemana Mbok? Bukankah Ia sudah tidak bisa lagi diterima di Desa Waliman.”
“Semua tanda tanya yang menggelayut di hatimu akan dijawab goresan tinta yang terukir di surat itu. Bacalah.”
Dengan hati berkecamuk campur aduk jadi satu, Faris membaca kata demi kata yang ditulis Herlen. Terlihat kesungguhan hati Herlen dalam menulis surat itu. Tampak dari lipatannya yang rapi serta bahasana yang teratur.


Untuk Faris sinar hidupku,

Rasanya hanya kata maaf yang mampu terucap dari lidah busukku. Maaf untuk seluruh bahagiamu karenaku. Maaf untuk setiap senyummu karenaku. Maaf untuk kata cinta yang terlanjur ku lambungkan tinggi di anganmu. Maaf, maaf, dan maaf. Sebenarnya aku telah bersuami, sudah lima tahun. Puji Tuhan dikarunai dua bocah kembar yang lucu nan menggemaskan. Aku datang ke Desa Waliman untuk misi kerukunan umat beragama. Kamu tahu? Makam yang berada tepat di antara Masjidmu dan Gerejaku adalah makam orang tuamu! Ya, aku dengar dari salah seorang pendeta di Gereja. Ketika orang tuamu tewas dalam kecelakaan maut itu sudah tidak ada lagi tempat tersisa di Desa Waliman untuk mengebumikan manusia. Apalagi orang tuamu bukan warga Desa Waliman. Sangat sulit untuk dapat sepetak tanah sekadar untuk menyemayamkan jasad orang tuamu. Hingga akhirnya diputuskan untuk menggunakan makam nenek moyang Desa Waliman untuk menguburkan jasad orang terkasihmu. Orang tuamu menjadi saksi tumbuhnya benih cinta terlarang di antara kita. Maaf karena kami semua berbohong kepadamu. Maaf karena aku berbohong kepadamu. Kamu yang kuat ya Ris! Tuhan selalu ada kok buat kamu! Tuhan mnyertaimu!

Dari yang menebar benih mata air mata, Herlen




Lagi-lagi dan untuk yang kesekian kalinya air matalah yang berbicara. Mata Faris sudah seperti sumber air ketika penghujan tiba. Manusia berangan, Tuhan menentukan. Manusia berencana, Tuhan yang punya kuasa. Manusia wafat, Tuhan tetap abadi dalam rahmat.
***
“Ketika saatnya nanti akan ku sandarkan bahtera ini di pelabuhan penuh sekat kegairahan. Sambil berharap, cinta yang mengembangkan layar kasih berlandaskan fondasi kokoh bernama keikhlasan. Namun, manusia tetaplah manusia. Nafsu masih akan menyeruak liar diantara putihnya nurani. Nafsu mencintai, nafsu memiliki, nafsu menguasai, nafsu mengambil alih, nafsu mendominasi, nafsu, nafsu, dan nafsu.”

Pelipur Lara bagi Jakarta


Balada Kolam Raksasa

*M.G. Kurniawan

Ada satu titik dimana manusia berada pada ketidakberdayaannya sebagai hamba
Benar-benar tidak berdaya
Diamuk alam, ditelan kelam
Menggigil dalam balutan selimut lusuh
Mengadu pada langit kosong
Mematung di depan istana reyot
***
Lantas beberapa petinggi negeri ini berbondong-bondong turun ke jalanan
Seperti anak kecil yang riuh rendah menyerbu pasar malam
Bersahut-sahutan, saling berebut paling nyaring
Di depan kilatan cahaya kamera media, menyuarakan rakyat harus dibantu
Rakyat tidak boleh dibiarkan menderita
Dan masih banyak lagi, sangat lihai mereka bersilat lidah
Sedang tidak jauh dari pasar malam tersebut, hanya beberapa puluh meter
Ada balita yang harus diselipkan dalam bak mandi
Dibawa menuju tempat yang lebih aman
Sedang tidak jauh dari pasar malam tersebut, hanya beberapa puluh meter
Ada seorang anak yang terseret derasnya arus sungai
Mati!!
Sedang tidak jauh dari pasar malam tersebut, hanya beberapa puluh meter
Seorang ibu-ibu dengan suara ringkihnya berteriak
Kami sangat lapar, seharian hanya mendapatkan satu nasi bungkus itu pun basi!”
Masya Allah!!
***
Inilah saat dimana gerobak kayu lebih bernilai daripada mobil mewah
Inilah saat dimana perahu karet lebih gagah daripada kapal tempur
Inilah saat dimana semua serba terbalik
***
Ada benarnya juga syair Ebiet
Alam mulai enggan bersahabat dengan kita, manusia
Mungkin mereka terlalu banyak kita sakiti
Terlalu sering kita koyak
Terlalu lama kita gerogoti
Maka, jangan heran kalau mereka murka
Milyaran meter kubik air digelontorkan
Karena memang rumah mereka sudah kita sulap jadi vila
Jutaan hektar tanah dilongsorkan
Karena memang penyangga mereka kita tebang jadi kebun teh
Kalau masih saling menyalahkan, kapan akan selesai?
Kalau masih sibuk berkomentar, kapan menindak konkrit?
Tutup rapat mulutmu, ikat kuat lidahmu!
Mulai gunakan tangan dan kaki untuk bergerak
Bergerak kembali pada yang seharusnya
Kembali bercumbu mesra dengan alam
Kita perlu membelai lembut mereka
Agar mereka tidak mencekik kencang leher kita
 
Website Templates by Body Fat Caliper, Christmas Dress