• Home
  • Home
  • Home

Jumat, 20 Januari 2012

Fasilitas Super Mewah DPR, untuk (Si)apa?


Fasilitas Super Mewah DPR, untuk (Si)apa?
Kecewa!! Itulah yang saat ini saya rasakan (mungkin juga sebagian besar rakyat Indonesia). Bagaimana tidak? Untuk kesekian kalinya beberapa “oknum” wakil rakyat kembali berulah.
Baru-baru ini Badan Anggaran DPR membangun sebuah ruang rapat yang sangat mewah. Diperlukan dana sekitar 20,3 miliar rupiah untuk membangun sesuatu yang hampir tidak ada gunanya tersebut. Bahkan khusus kursi dalam ruangan rapat tersebut, didatangkan langsung dari Jerman dan per buahnya ditaksir berharga 24 juta rupiah. Untuk apa? Kursi semahal itu hanya akan nganggur. Ruangan semewah itu sangat tidak sebanding dengan kinerja DPR yang angin-anginan. Untuk apa membangun ruangan yang terkesan berlebihan, jika pada saat rapat kerja hanya sebagian anggota DPR yang datang? Mengapa harus mendatangkan kursi dari Jerman? Padahal kursi buatan Jepara jauh lebih bagus dan harganya lebih terjangkau. Lalu apa realisasi imbauan pemerintah “cintai produk-produk dalam negeri”? Sedangkan mereka sendiri masih sangat “mencintai” produk-produk asing!
Ada lagi “tindakan konyol” yang dilakukan oleh wakil kita disana, yaitu anggaran pembuatan kalender yang sangat tidak masuk akal. Khusus kalender, DPR menganggarkan dana 1,3 miliar rupiah untuk 15.900 kalender dinding dan 1.700 kalender meja. Sekarang mari kalkulasi apakah anggaran sebesar itu “wajar”. Untuk kalender dinding kualitas terbaik, beberapa percetakan yang ada di Jakarta mematok harga antara Rp 10.000 – Rp 12.000/buah. Sedangkan untuk satu kalender meja kualitas wahid, dibanderol sekitar Rp 20.000. Jika dikalikan dengan jumlah kalender yang dibutuhkan, maka dana yang dibutuhkan tidak lebih dari 200 juta rupiah. Sedangkan dana yang dianggarkan sebesar 2 miliar rupiah. Lalu kemana sisanya? Masuk “kantong” siapa sisa dana sekitar 1,1 miliar rupiah itu? Saya rasa, kita semua sudah tahu jawabannya.
Sebenarnya jika kinerja pemerintah atau wakil rakyat bagus, masyarakat tidak akan banyak berkomentar soal fasilitas mewah yang diberikan kepada mereka. Karena sudah menjadi sebuah kewajaran fasilitas mewah akan berbanding lurus dengan kinerja yang optimal. Namun, yang terjadi saat ini kinerja pemerintah (DPR) sangat jauh dari ekspektasi yang diharapkan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kepuasan masyarakat terhadap DPR yang semakin merosot. Berangkat dari fakta tersebut, patutkah DPR diganjar fasilitas mewah? Apakah pantas DPR membangun ruangan seglamor itu? Perlukah anggaran kalender yang terkesan berlebihan tersebut?
Sedangkan diluar “lingkaran setan” kekuasaan mereka, masih banyak rakyat yang hidup memprihatinkan. Mereka makan dengan lahapnya, tanpa merenung apakah orang lain juga bisa makan nikmat seperti dirinya. Mereka bisa tidur di kasur yang empuk, tanpa memikirkan apakah masih ada yang tidur di kolong jembatan atau emperan toko. Mereka membangun bangunan yang super mewah, sedangkan masih banyak rakyat tinggal di rumah reot yang lebih pantas disebut sebagai kandang ayam. Mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan dan terhormat, tanpa memikirkan apakah masih ada sesamanya yang mengais rezeki dari sampah, got-got, atau tempat kumuh lainnya. Rasanya wakil rakyat kita harus berkaca dari kenyataan tersebut. Seharusnya mereka bisa menjadi wakil bagi rakyat yang memilihnya. Seharusnya! Mereka harus ingat, tanpa “wong cilik” mustahil bisa berada di tampuk kekuasaan seperti sekarang ini. Mereka juga harus merealisasikan “janji” manis yang dilontarkan dahulu saat kampanye. Mereka harus mementingkan urusan rakyat, bukan mementingkan dirinya sendiri.
Ya, saat ini kita hanya bisa berharap nurani mereka terketuk. Semoga harapan tak menjadi sekedar harapan.

Negeri Para Bedebah
Karya:Adhie Massardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan


Senin, 09 Januari 2012

IPA atau IPS? Sama Saja!

IPA atau IPS?
Sama Saja

“Bapak dan Ibu tidak mau tahu nak, pokoknya kamu harus masuk IPA, titik!
Mungkin ada diantara kita yang pernah dapat kata-kata “sakti” itu dari orang tua. Ya, kebanyakan orang tua memang menginginkan anaknya masuk disiplin IPA saat penjurusan kelas XI di SMA. Tidak peduli minat anaknya, yang penting harus masuk IPA. Memang, anggapan yang berkembang di masyarakat saat ini menempatkan IPA sebagai favorit (lebih bergensi dari IPS). Selain dianggap lebih “cerdas”, anak IPA juga dipandang lebih santun daripada anak IPS yang begajulan. Bahkan akademi militer (untuk kadet) pun hanya menerima lulusan IPA sebagai anggotanya. Sementara IPS “hanya” kebagian yang berurusan dengan administrasi militer.

Tapi saya disini bukan untuk “mendewakan” IPA (jurusan dan anak-anaknya). Juga tidak berniat menjatuhkan IPS (ya iyalah, wong saya ini anak IPS kok, wkwkwkwk). Saya disini hanya sebatas berusaha untuk mengubah paradigma masyarakat seperti yang tersebut diatas. Saya hanya berusaha agar teman-teman bisa memandang segala sesuatu dari dua sisi (tidak melulu dari satu pendapat saja). Ok, mulai ke pokok permasalahan. Tulisan ini murni karya saya, dan saya bertanggungjawab atas segala sesuatunya. Ini pendapat saya pribadi, murni dari pengalaman saya semasa SMA dan sama sekali tidak ada motif provokasi. Semoga terhibur. :)

Anak-anak IPS memandang Anak-anak IPA
  • “He, anak IPA itu kurang kerjaan ta? Kok air diem-diem dipentelengin gitu?”

Itu kata-kata teman saya waktu anak IPA praktek menguji kadar ph atau tingkat keasaman air di Laboratorium. Ya, wajarlah kalau teman saya bicara seperti itu, karena memang kita tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Tapi untuk kadar keasaman ini saya sedikit banyak tahu (benerin ya kalau salah, hehehe). Kalau ph nya 7,0-7,2 itu termasuk dalam kondisi air normal. Kalau <7 itu termsuk klasifikasi air tercemar (air sungai atau air got). Kalau >7 termasuk kategori asam basa (sabun, air gula). Ya, cukup anak-anak, pelajaran Kimia hari ini selesai, silahkan berkemas untuk pulang. Hahahahaha
  • Pernyataan diatas itu dilontarkan teman laki-laki saya. Sekarang mari simak komentar teman-teman perempuan saya atas “kejanggalan” yang dilakukan anak IPA, hehehe.
“Iiihh anak IPA itu jorok banget sih, kejem lagi. Masa kodok dibelah-belah kayak gitu? Gak punya perasaan kali ya? Udah gitu bau amis lagi.”
Harap maklum ya, cewek kan 99% pola pikirnya berdasar perasaan. Jadi hatinya mudah tersentuh kalau ada “penganiayaan” seperti itu, hhe. Kalau gak salah (ya bener), membelah kodok itu untuk mengetahui sistem yang ada dalam tubuh kodok tersebut. Misal sistem pencernaan atau  sistem pernafasan. Baiklah anak-anak, kisi-kisi untuk ujian Biologi besok selesai saya sampaikan. Jangan lupa rajin belajar dan berdoa. Supaya nilai kalian tidak sama hancurnya seperti muka kalian. :p hahaha

Anak-anak IPA memandang Anak-anak IPS
Saya punya banyak teman anak IPA. Dari teman band, teman teater, teman futsal, atau sekedar teman untuk nongkrong. Mereka juga gak mau ketinggalan loh kasih komentar seputar “fenomena” yang terjadi pada anak-anak IPS. Dibawah ini ada sebagian komentar yang saya dengar langsung dari teman-teman IPA.
  • “He tur, anak-anak kelasmu (XII IPS 1) itu kok santai banget sih? Waktu jam pelajaran kok malah jalan-jalan keliling sekolah? Jam nya kosong terus ta?”

Hahahaha, bukan karena jam kosong kita jalan-jalan keliling sekolah (baca: kabur dari kelas). Tapi memang dasarnya kita aja yang males ikut pelajaran, wkwkwk. Kadang ini terjadi sama mata pelajaran yang super membosankan atau sulitnya minta ampun. Atau bisa jadi pengajarnya gak asik. Karena anak-anak IPS memang cenderung suka tantangan dan menghindari kegiatan yang membosankan. Pernah waktu pelajaran Agama (pengajarnya masih PPL). Karena orangnya kaku dan seriusnya minta ampun, kita keluar kelas menuju lapangan tenis untuk main futsal. Keren kan? Wkwkwk
  • “Memang kelas IPS gak pernah dapet tugas ya tur? Kok setiap hari kalian kerjaannya nongkrong terus? Ya di sekolah lah, di angkringan lah, di tandon lah, di McD lah.”

Sebelum saya berikan jawaban, mari simak slogan anak IPS “Everyday is Holiday”. Tugas kita sama banyaknya kok seperti halnya anak IPA. Malah mungkin lebih banyak, karena hampir setiap tugas harus ada makalah, ppt, dan harus dijelaskan ke depan kelas. Tapi ya itu tadi, sebanyak apapun tugas, serumit apapun ujian (harian atau akhir), prioritas kita tetap santai-santaian dan menikmati hidup. Ada alokasi waktu untuk belajar, tapi waktunya gak lama. Karena buat kita, gak perlu belajar terlalu serius dan lama. Buat kita belajar itu harus menyenangkan dan cukup sekedarnya saja, asalkan rutin dan berkelanjutan.
Poin-poin diatas adalah sekelumit pendapat masing-masing kelompok tentang kelompok lain. Dan menurut saya pendapat mereka muncul sebatas karena rasa ingin tahu saja, tidak ada motif untuk mengejek atau menjatuhkan. Sekarang saya akan mencoba membeberkan beberapa fakta menarik seputar anak IPA dan anak IPS. Sekali lagi ini pendapat saya pribadi, jadi saya bertanggung jawab atas semua ucapan yang terlontar dari tulisan ini. Check this out!

Fakta-Fakta Menarik Seputar Anak IPA dan Segala Tetek Bengeknya
1.      Sangat telaten (teliti). Untuk ini saya acungkan dua jempol. Saya kadang kagum atas ketelitian yang ditunjukkan lewat ucapan dan perbuatan anak IPA. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh sebagian besar disiplin ilmu mereka yang menuntut ketelitian tingkat tinggi, contoh: Matematika, Fisika, Kimia, dll.
2.      Suka hal-hal yang pasti. Ini juga dipengaruhi oleh disiplin mereka yang mengajarkan ilmu-ilmu pasti. Mereka diajarkan, bahwa 1+1=2.
3.      Sangat rajin. Ya, kebanyakan teman IPA saya sangat rajin entah dalam belajar maupun mengerjakan tugas. Disaat saya sibuk mencari chord gitar untuk lagu-lagu Dream Teather, mereka dengan asyiknya menyelam ke “samudra rumus-rumus” pelajaran Matematika, contoh: Integral, differensial, kalkulus.
4.      Mukanya kusut (hahaha, maaf ya baca penjelasannya dulu). Mereka kadang murung karena nilai Kimia anjlok atau Fisika yang “sangat mudah” untuk dipahami, hhe. Beda sama anak IPS. Setiap hari mereka akan berbinar-binar karena semalam baru saja menemukan tempat nongkrong yang baru. Tidak perduli nilai jongkok atau banyak tugas. Wkwkwk
5.      Ada beberapa yang terserang tekanan mental. Jangan ketawa! Ini saya serius. :p Pernah ada teman saya (IPA) yang curhat. Dia datang ke saya dengan wajah lungset dan suara yang gak semangat. Dia bilang kalau udah gak kuat di IPA. Dia bingung apa itu Relatifitas Waktu, Kadar ph, Matriks, dan segala tetek bengek mata pelajaran IPA. Ditambah lagi dengan guru yang killer! Ketika saya tanya mengapa kok bisa begini? Dia jawab sebenarnya dia minat ke IPS. Nilainya pun tidak memadai jika tetap dipaksakan masuk IPA. Tapi karena orang tuanya bersikeras agar dia masuk IPA, dia terpaksa menuruti mau orang tuanya. Karena dia pikir, orang tua pasti tahu yang terbaik untuk anaknya. Orang tua teman saya tersebut ingin kelak teman saya menjadi Arsitek. Padahal teman saya bercita-cita menjadi Seniman. Nah loh? Ini juga jadi pelajaran buat kita. Kalau kelak jadi orang tua jangan selalu memaksakan kehendak. Terkadang orang tua harus mengikuti maunya anak, karena toh orang tua juga manusia, tidak selamanya benar!
Lima poin diatas adalah sedikit tentang fakta anak-anak IPA. Saya yakin masih banyak fakta-fakta menarik yang belum tercantum dalam tulisan ini mengenai anak IPA. Sekarang, mari kita simak fakta-fakta menarik tentang anak IPS. Jurusan saya! Wkwkwk

Fakta-Fakta Menarik Seputar Anak IPS dan Segala Tetek Bengeknya
1.      Santai dan cenderung menikmati segala suasana. Apapun kondisinya, dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya, kita anak IPS selalu enjoy dan menikmati segala sesuatunya. Sekalipun nilai rapor dibawah KKM, kita santai. Kita melihat sisi positifnya. Kita bisa lebih dekat dengan Guru mata pelajaran, dan belajar banyak dari beliau tentang apa-apa yang kurang dipahami.
2.      Suka nyepik (nge-Gombal). Nah, ini yang patut diwaspadai sama kaum hawa! Kalau kalian dirayu/dipuji cowok-cowok IPS, jangan langsung percaya! Bisa jadi itu Cuma taktik mereka aja untuk dapetin cinta kalian.wkwkwkwk. Mungkin ini berkat sebagian mata kuliah kita yang menuntut aktif berbicara dan tidak harus sesuai dengan teks (buku). Kita dituntut untuk bisa berimprovisasi. Jadi, 1+1 tidak selalu dua. Menurut saya, 1+1=0. Kok bisa? Sekarang perhatikan konteks ini. Jika ada satu orang takut setan dan tidak berani masuk tempat angker, kemudian datang satu orang lagi yang takut setan. Otomatis kadar ketakutannya akan berkurang atau bahkan hilang dan akhirnya mereka berdua berani masuk ke sebuah tempat angker. Hal ini karena disebabkan faktor ada tambahan satu orang tadi. Intinya, Satu orang takut+Satu orang takut= Nol orang takut (tidak ada). Bingung? Kurang jelas? Wong saya aja nulis ini juga bingung kok. Wkwkwk
3.      Wajah ceria dan penuh senyum. Ini ada hubungannya dengan poin pertama. Karena kita memandang segala sesuatunya dengan santai dan tanpa beban. Memang ada kalanya kita serius, tapi itu terjadi hanya sebentar. Setelah itu ya senang-senang lagi.
4.      Dianggap berandal. Ini anggapan masyarakat yang salah. Mereka hanya menilai sesuatu dari luarnya. Apa mereka tidak pernah diberi petuah “Don’t judge the book by the cover”? Tidak selalu kita berpenampilan dan berbuat acak-acakan lalu otak kita juga acak-acakan.
5.      Suka petualangan (baca: mbolang). Hampir setiap hari (waktu SMA) saya dan teman-teman selalu pergi kemanapun kami suka. Bisa di Sidoarjo sendiri, atau cari sensasi lain dengan gowes ke Taman Bungkul (SBY), bisa juga sedikit refreshing ke Tretes (ehm, ehm). Ada kepuasan tersendiri ketika kita pergi ke tempat-tempat tersebut bareng teman sekelas atau teman se jurusan IPS.

Lima poin diatas merupakan sedikit fakta tentang anak IPS. Dan masih banyak fakta menarik lagi mengenai “luar biasanya” anak IPS.

Jujur, saya tidak pernah beranggapan bahwa IPS lebih baik dari IPA atau sebaliknya. Segala sesuatunya sudah diatur sama yang diatas, dan tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing bukan? Saya memang bangga jadi anak IPS, di sisi lain saya juga bahagia punya teman-teman yang luar biasa menyenangkan dari anak IPA. Untuk di SMAN 1 Sidoarjo sendiri hampir setiap kelas IPA ada teman-teman akrab saya. Entah itu teman seangkatan, adik kelas, atau bahkan kakak kelas. Saya tidak melulu bergaul dengan anak IPS saja, saya juga butuh akrab dengan anak IPA agar bisa mengambil banyak nilai positif dari mereka. Sedikit pengalaman saya. Saya sangat akrab dengan anak kelas XII IPA 4 (p4p4t). Saya sering “bertamasya” atau sekedar ngobrol dengan mereka. Mereka asyik, seru, humoris, dan tidak pilih-pilih teman. Kalau mereka ada kegiatan mancing di hari libur, saya selalu ikut. Ya, walaupun tidak diundang (diajak) pokoknya saya ikut, hahahahaha. Saya juga ingat betul bagaimana serunya nonton bareng mereka di Cito. Kadang kalau di kantin, saya juga ikut nimbrung sama mereka. Ya, walaupun gak direken pokoknya saya ikut aja, wkwkwk. Saya nyaman dengan cara bergaul mereka. Para lelakinya yang maho-maho itu (Enda dan Pi’i, wkwkwk), kaum hawanya yang cerewet bukan main (Cagak, Pipit, Inaya, heheheh piss), dan selalu ada aja kegiatan menarik yang dibuat mereka. Intinya saya seneng bisa kenal kalian semua (sisba smanisda 2008), gak mandang IPA atau IPS. Saya juga pengen banget, gak ada lagi yang ngeremehin anak IPS dengan bilang bahwa IPA lebih bergengsi dari IPS. Karena buat saya, semua sama saja. Sama-sama asik!
Sekian tulisan singkat dari saya. Semoga bermanfaat. Sekali lagi saya bertanggung jawab atas sebiji Zahra pun dalam tulisan ini. Dan jika ada yang “kurang pas”, jangan sungkan-sungkan kasih kritik dan saran. :)

Sisbaaaaaaaaa
Duh aduh enake, duh aduh senenge, jadi siswa Smanisdaaaaaa…..

Sabtu, 07 Januari 2012

(Apa sih) Untungnya Pacaran?

Anak muda zaman sekarang pasti udah pernah ngerasain gimana "rasanya" pacaran.  Cuma yang jadi masalah, cara "mereka" menafsirkan pacaran itu loh. Buat mereka pacaran itu ya saling panggil mesra, saling menyatakan rasa sayang, pegang-pegangan tangan, terus meraba-raba (aw aw). Bahkan ada teman saya yang bilang gini ke pacarnya, "Kalau kamu emang sayang dan nganggep aku sebagai pacar, kamu harus buktikan itu dengan ML!"
nah loh. bisa jadi ribet kan urusannya? Mungkin kita perlu ngerubah persepsi pacaran menuju pengertian yang lebih baik. Bagi saya sendiri pacaran ya biasa aja, cuma bedanya kita jadi semakin termotivasi memacu prestasi (akademik dan non akademik), kita berusaha jadi yang terbaik buat dia (tanpa meniinggalkan jati diri), kita juga bisa membahagiakan orang lain (pacar kita) dengan cara-cara yang simpel, misal: ciptain lagu buat dia terus nyanyiin didepannya langsung, kasih kejutan kecil tapi mengena, dan lain-lain. Jadi, pacaran itu gak mesti harus buat mesum dan umbar kemesraan didepan umum (kayak KD-Raul aja, hahaha). Tapi kalau mindset kita gak bisa dirubah dan tetap pada persepsi pacaran "kuno", tinggal tunggu waktu aja, masalah bakal datang bertubi-tubi. Disini saya akan mencoba membeberkan fakta kerugian pacaran cara "kuno" sehingga layak untuk diperbincangkan. Dan saya akan mengupas tuntas setajam Silet. wkwkwkwkwkwk

1. Gak bisa bebas

Kerugian yang pertama kalau kita pacaran, jelas kita gak akan bisa bebas. Kita akan merasa semakin terkekang oleh pacar. Udah dikekang sama ortu, sekarang ditambah sama pacar. Bayangin deh, misal malam minggu kita ada kumpul organisasi/kegiatan lain yang harusnya penting buat kita. Nah, disaat seperti itu si doi minta kita menemaninya jalan ke mal lah, nonton lah, atau sekedar dinner lah. Otomatis kita akan dilanda kebingungan, mana yang harus didahulukan? Masalah muncul saat kita memutuskan untuk mengikuti kumpul organisasi, si doi pasti merengek, "Ooohh gitu, jadi kamu lebih mentingin kegiatan gak jelas kamu itu daripada aku? Sayang gak sih kamu sama aku? Mending kita putus aja deh". Aduh repot deh.

2. Tugas Terbengkalai

Jujur deh, sehari bisa berapa sms yang kalian kirim ke pacar? puluhan, atau mungkin ratusan? atau bahkan triliunan? Dan berapa waktu kalian sia-sia cuma gara-gara hal sepele kayak gitu? Terus kapan kita bisa ngerjain tugas dengan tenang, kapan kita bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik? Kalau bentar-bentar, pacar udah sms, "Sayang, kamu lagi ngapain? Udah makan belom?". Gitu masih mending, coba kalau pacar kita nulisnya kayak gini, "cUuaIaaaanNnNkKk, kMoeh l4gi3 ng4phAiinn? uDda4h m4Kan b3l0m?". Dunia emang mau kiamat.

3. Bohong sama Orang Tua

Biasanya ini terjadi sama anak yang pacarannya model "backstreet". Itu tuuh, yang pacarannya di balik jalan. -____-
Adaaaa aja alasan mereka buat sekedar curi-curi waktu biar bisa ketemu pujaan hatinya. Yang kerja kelompok dirumah temen lah, ada jam pelajaran tambahan, ada diklat organisasi lah, dan lain-lain. Kalau yang masih ngelakuin ini, mending cepet tobat deh. Ridha Allah itu sama dengan Ridha orang tua loh. Kalau bohongin ortu, sama aja bohongin Allah. Dosanya  dobel. Sekarang, pakai logika! masa iya sih, kita lebih mentingin pacar yang mungkin baru kenal beberapa bulan ini, daripada orang tua yang sudah merawat kita bertahun-tahun? terus dimana letak NURANI kita?

4. Gemar Mesum

Ini khusus untuk yang pacaran gak kenal batasan. Buat mereka ngelakuin apa aja sah, atas nama saling sayang dan mencintai. Buat saya, kalau kita benar-benar sayang sama seseorang kita pasti berusaha menjaga kehormatannya. Kita gak mungkin ngelakuin hal bodoh macam ciuman, pegang-pegangan, remas-remasan, bahkan ML sekalipun. Karena kita tahu itu bisa berdampak buruk pada psikologi orang yang kita sayang. Yang terjadi sekarang emang parah. Tempat wisata (contoh Pantai, alun-alun, air terjun, wisata alam) justru dijadikan tempat favorit bagi muda-mudi yang hendak melampiaskan nafsu hewaninya. Mereka itu gak lebih baik dari hewan. Karena yang ada di pikiran merekan cuma nafsu, nafsu, dan nafsu. Maaf kalau sedikit kasar, karena kenyataannya memang seperti itu. Coba deh mulai pikir panjang, jangan cuma mikirin kenikmatan sesaat. Oke lah, mungkin ML itu nikmat. Tapi kalai si doi BUNTING? Mau kita kasih makan apa, daun? Wong kita aja masih "nyusu" sama orang tua kok. 

5. Melanggar Norma Agama

Kalau di agama saya (Islam), gak ada tuh yang namanya pacaran. Mungkin di agama lain juga seperti itu, melarang adanya ikatan sebelum pernikahan. Di Islam adanya taaruf, yaitu pendekatan pihak lelaki ke perempuan dan setelah itu langsung ijab kabul. Jadi saran saya mending kalau masih bau kencur gini gak usah pacaran dulu lah, nanti kalau udah bisa cari duit sendiri dan siap lahir batin baru nikah. 

6. Jauh dari Sahabat

Ini pengalaman pribadi saya. Waktu zaman SMA, saya pernah punya sahabat yang bisa dibilang seperti saudara lah. Kita akrab. Tapi pas dia punya cewek, dia udah gak peduli lagi sama yang namanya sahabat. Gak pernah ikut nimbrung kalau geng kita lagi kumpul, di kelas cuma ngurusin pacarnya doang gak pernah bercanda sama teman-teman kelas, dan gak pernah ikut kalau ada acara kelas. Mantan pacar jelas ada, tapi yang namanya mantan sahabat itu gak ada! :) 

7. Dompet Bocor

Ini pasti terjadi sama semua anak yang pacaran. Buat nonton lah, makan lah, pulsa lah, bensin lah, dan beliin barang kesukaan pacar. Nonton kadang bisa seminggu sekali. Makan bareng hampir tiap hari. Pulsa sebulan bisa habis ratusan ribu. Bensin motor/mobil boros. Dan barang kesukaan pacar itu loh, bukan main banyaknya. Sekarang hitung sendiri deh, berapa uang kita yang habis cuma buat kegiatan yang hampir gak ada gunanya itu? Coba kalau kita gak pacaran, kita bisa nabung sisa uang saku kita, terus kalau orang tua atau sahabat ulang tahun, kita kasih mereka kado spesial dari uang tabungan kita. Kan lebih seru dan bermanfaat toh?


Ya, saya cuma bisa ngasih 7 contoh itu. Saya yakin pasti masih banyak kerugiian kalau kita pacaran dengan cara "kuno". Saya tulis note ini sama sekali bukan untuk menyalahkan mereka yang pacaran. Saya gak munafik! Saya juga pernah pacaran, dan melakukan kesalahan-kesalahan seperti tersebut diatas. Namun, seiring berjalannya waktu saya sadar kalau itu gak bener. Dan sampai saat ini saya jomblo (4 tahun). Saya hanya memberikan sedikit pengetahuan, kalau cara mereka salah. Urusan diterima atau tidak itu urusan mereka. Yang penting kita sebagai sesama sudah saling mengingatkan. Juga saya tidak menulis note ini karena (kebetulan) saya jomblo. Tenang, saya masih normal kok (masih bergetar kalau lihat cewek yang wow. . . hahahahahaha).

Akhirnya semua perbuatan tergantung individunya masing-masing, dan harus dipertanggungjawabkan kelak di hari akhir.

Analisis Cerpen


Cerpen “Surabaya” Karya Toti Tjitrawasita
(Suatu Tinjauan Sosiologis)
            Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa (Wellek&Warren, 1977:109). Karya sastra sendiri adalah proses kreatif seorang pengarang yang lahir dari perenungan dan pemikiran berdasarkan kondisi sosial masyarakat yang ada. Penyair atau pengarang adalah bagian dari masyarakat yang memiliki strata khusus. Dari penjelasan tersebut nyatalah bahwa sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra tersebut. Diperkuat dengan kenyataan bahwa sorang pengarang adalah elemen sosial yang jelas akan membawa ideologi sosialnya masuk ke dalam karya sastra karangannya.
            Dalam proses kreatif penciptaan karya sastra, pengarang harus lebih serius dan konsisten memerhatikan fenomena sosial budaya yang ada di sekitarnya. Karena hal tersebut adalah salah satu yang menentukan baik buruknya sebuah karya sastra. Dengan memerhatikan sosial budaya masyarakat, sebuah karya sastra bisa menjadi bahan renungan bagi pembacanya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh latarbelakang skemata budaya yang sama. D.C. Longinus mengingatkan bahwa karya sastra yang baik adalah yang bisa membuat pembacanya merenung.
            Lagi pula sastra selalu “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari dari kenyatan sosial, sekalipun karya sastra juga “meniru” alam dan subjektif manusia (Wellek&Warren, 1977:109). Artinya sastra selalu terpengaruh (disesaki pengaruh) dari kenyataan sosial dan keadaan alam yang ada di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena terkadang seorang pengarang tidak sengaja memasukkan fenomena sosial budaya dan keaadaan alam terhadap karya sastra yang dibuatnya. Ketidaksengaajaan tersebut wajar, karena memang secara tidak langsung seorang pengarang ingin mengedepankan latar belakang kondisi sosialnya. Oleh karena itu, sebuah karya sastra yang baik biasanya (dan selalu) kental dengan aroma sosial budaya dan keadaan alam yang ada.
            Benarlah anggapan bahwa sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya (Rizal, 2009:2).
            Bicara soal konvensi budaya yang menjadi landasan sebuah karya sastra, Teeuw (1984:100) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra tidak mungkin tanpa pengetahuan, sedikit banyaknya, mengenai kebudayaan yang melatarbelakangi karya sastra tersebt dan tidak langsung terungkap dalam sistem tanda bahasanya. Untuk memahami tetralogi “Laskar Pelangi” nya Andrea Hirata, kita dituntut untuk turut mengerti kebudayaan yang melatarbelakangi karya tersebut (dalam hal ini kebudayaan Melayu). Untuk dapat mengerti karya  cinta abadi “Romeo&Juliet” nya William Shakespare kita harus paham akan kondisi sosial masyarakat (Eropa) pada waktu karya itu muncul. Lebih lanjut, Teeuw (1984:100) menyatakan bahwa konvensi budaya telah terkandung dalam sistem bahasa dan konvensi sosio-linguistik serta dalam sistem sastra. Cerpen “Surabaya” karya Toti Tjitrawasita merupakan cerpen pilihan kompas 1970-1980, yang termuat dalam buku Dua Kelamin bagi Midin. Cerpen ini dibuat Toti dengan latar belakang sosial budaya yang sangat kuat. Mungkin ini menjadi nilai plus sehingga cerpen karyanya mampu menjadi yang terbaik. Cerpen “Surabaya” menceritakan tentang kondisi sosial masyarakat Jawa Timur (gunung kapur dan Surabaya). Tentang bagaimana kebiasaan-kebiasaan masyarakat di daerah tersebut pada periode 70-an. Digambarkan secara detail bahwa masyarakat pada masa itu melakukan kegiatan mencuci ternak, mandi, mencuci pakaian, dan buang hajat di satu tempat yang sama (sungai). Juga kebiasaan orang tua pada masa itu (sampai sekarang), yang “gemar” menyimpan uang di dalam (maaf) kutang. Cerpen ini menjadi semakin dinamis dengan pewatakan karakter utamanya (Mbok) yang sangat gigih dan pantang menyerah. Sekejam apapun dunia ini, sekeras apapun lingkungan yang ada disekitarnya, Mbok tetap tegar dan selalu berusaha melewati semua itu dengan kepala tegak. Mbok yang awalnya hidup penuh trauma akibat pemberontakan G30S/PKI di gunung kapur menjadi berapi-api tatkala menerima surat dari anaknya, Juminten, bahwa telah lahir seorang bayi mungil yang kelak akan meneruskan garis keturunan keluarga ini. Dengan berbekal semangat membara dan sumbangan materi dari tetangga sekitarnya, Mbok memberanikan diri sendirian berangkat menuju Surabaya (tempat dimana anak dan menantunya bermukim). Sesampainya disana, Mbok dilanda cultur shock. Masyarakat Surabaya sangat cuek terhadap pendatang. Beda dengan tetangganya di gunung kapur yang ramah terhadap siapapun. Bahkan Mbok sempat dirampok oleh orang tak dikenal. Di akhir bagian dikisahkan bahwa ternyata orang tak dikenal itu adalah menantunya sendiri. Sampai akhirnya Mbok terlunta-lunta dalam mulut raksasa kehidupan metropolitan. Singkat cerita Mbok berhasil menemukan rumah anak, menantu, dan cucunya. Beliau memutuskan untuk tinggal bersama keluarganya di Surabaya. Walau hidup dalam kemiskinan daan selalu dihantui pertanyaan klasik, “Adakah yang bisa dimakan besok pagi?”
            Membaca cerpen “Surabaya” memantik adrenalin untuk berpacu dalam konflik yang mengalir begitu indah. Cerpen ini didesain khusus untuk menggambarkan bagaimana keadaan sosial budaya suatu masyarakat yang dengan cantiknya diubah menjadi bahan renungan bagi pembacanya.
            Konstelasi yang disajikan dalam cerpen ini sanggup membuat pembaca (saya khususnya) berdecak kagum. Dengan mulus, pengarang menyatupadukan sosial budaya mayarakat tertentu dengan penggambaran yang begitu detail tentang keadaan alam (fisik) suatu daerah. Seperti yang tampak dari penggalan cerpen ini, “ Sebentar-bentar lok tua itu berhenti, mengambil dan menurunkan muatan. Oleh kesibukan lalu lintas perkeretaapian, dia sering harus mengalah, berjam-jam menunggu sinyal, untuk bersimpang jalan dengan kereta besar yang kencang jalannya”. Tentu ini menjadi kombinasi yang sangat menarik. Ditambah dengan “bumbu-bumbu”  pesan  moral dan tokoh utamanya yang pekerja keras, semakin menjadikan cerpen ini luar biasa. Maka tidak heran bila akhirnya cerpen ini menjadi salah satu cerpen terbaik pada tahun 1977.
            Penggunaan majas juga sangat kental dalam cerpen ini. Namun, kebanyakan terfokus pada majas personifikasi. Seperti yang terlihat pada kata-kata dalam cerpen berikut ini, “... bunyi azan yang mirip rintihan itu menyobek udara gersang pedusunan miskin di bukit kapur.” Juga terdapat pada bagian ini, “Hatinya pun ikut bergoyang goyang, teriris oleh hukum alam yang disaksikannya, ...”. Yang paling fenomenal tentu bagian favorit saya dalam cerpen ini, “Surabaya, kota yang mirip mulut raksasa, menyedot ribuan urbanisasi ke dalam perutnya, dan memuntahkannya kembali ke kaki lima, emperan cina, kolong jembatan, dan got-got mesum yang merajah tubuh kota.
            Pesan moral yang terkandung juga cukup dalam dan mengena. Seolah ingin menyindir kondisi sosial masyarakat pada waktu itu yang jauh dari kearifan lokal. Seperti penggambaran orang-orang metropolitan (Surabaya) yang egois, kelakuan sebagian orang yang menghalalkan segala cara demi dapat bertahan hidup, dan kedigdayaan kaum besar atas kaum kecil yang jelas tidak sesuai porsinya ( digambarkan dengan kereta barang yang harus selalu mengalah kepada kereta besar seperti bisnis dan eksekutif).
            Pada akhirnya, saya setuju dengan Kompas yang menempatkan cerpen “Surabaya” karya Toti Tjitrawasita sebagai salah satu yang terbaik. Karena dilatarbelakangi oleh kondisi sosial budaya yang jelas serta ditambah dengan pesan moral dan detail penceritaan yang menarik. Majas nya juga mengena dan tepat sasaran. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, sebuah karya sastra yang baik adalah yang berhasil membuat pembacanya merenung. Dalam hal ini, cerpen “Surabaya” sukses besar.

Selasa, 03 Januari 2012

Artikel (Tugas Kuliah)


Sejarah dan Komersialisasi Sastra Indonesia
Oleh: Muhammad Guntur Kurniawan*
Engleton (1988:4) menyatakan bahwa sastra adalah karya tulisan yang halus (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan, diterbalikkan, dan dijadikan ganjil. Sementara itu Ahmad Badrun (1983:16) mendefinisikan sastra sebagai kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alat dan bersifat imajinatif. Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sastra adalah tulisan yang halus dengan medium bahasa, garis, dan simbol serta bersifat imajinatif. Sastra terdiri dari teori, sejarah, dan kritik. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Teori baru dalam mustahil muncul tanpa adanya telaah sejarah sastra yang intensif. Sejarah sastra tdak akan bisa diperiodesasi tanpa teori dan kritik yang benar. Dan kritik sastra akan menjadi baik bila memerhatikan teori dan sejarah sastra. Dalam artikel ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sejarah sastra khususnya di Indonesia.
Bicara soal sejarah Indonesia tidak lengkap rasanya bila tanpa menelaah lebih lanjut tentng sejarah sastranya. Irwansyah (2011) menyatakan bahwa kesusastraan Indonesia modern tetap dianggap baru muncul setelah Perang Dunia I berakhir dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun 1917. Balai Pustaka adalah nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pada tahun 1908. Namun yang terjadi sebenarnya adalah sastra Indonesia lahir pada tahun 1920. Tepat setelah Merari Siregar menerbitkan roman asli pertama sastra Indonesia Azab dan Sengsara. Mengapa disebut roman asli pertama sastra Indonesia? Karena pada tahun-tahun sebelumnya roman cenderung memakai bahasa daerah. Seperti roman Sunda Baruang Ka Nu Ngarora (Ratjun Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata terbit tahun 1914. Terlepas dari perdebatan kapan tepatnya sastra Indonesia lahir hal ini tetap menarik untuk diperbincangkan. Irwansyah (2011) memaparkan lebih lanjut mengenai lahirnya kesusastraan Indonesia sebagaimana berikut ini.
Masalah itu diangkat dan dibahas oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1988), yang cetakan pertamanya tahun 1964. Orang pertama dan serius membicarakannya adalah Umar Junus. Menurut dia, kesusastraan Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada karena sastra baru ada setelah bahasa ada. Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928, kemudian bertukar nama dengan bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sebagai pegangan, titik mula bagi sastra Indonesia juga tahun 1928, yang dapat berubah sedikit.

Artinya, bisa mundur atau maju dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena “sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”, tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Memang pada saat itu roman Azab dan Sengasara masih menggunakan bahasa Melayu. Karena jelas Bahasa Indonesia baru resmi dan dipakai setelah Sumpah Pemuda tahun 1928. Jika menilik hal tersebut nyatalah benar pendapat Ajip Rosidi bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1933 ketika terbit majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Kemudian sastra Indonesia bisa dikatakan berkembang dengan sangat pesat. Ditandai dengan munculnya Angkatan ’45 yang mendobrak pakem lama mengenai karya sastra. Bahwa karya sastra tidak harus terikat dan terpaku pada aturan. Karya sastra dalam periode ini lebih bebas, ejkspresif, dan revolusioner. Itu dapat dilihat dari hasil karya sastra Angkatan ’45. Tokoh-tokohnya adalah Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera) (Didin Widyartono, 2009). Lalu dilanjutkan oleh angkatan ’66 dan angkatan ’70 yang memberi corak baru dalam dunisa sastra Indonesia.
Yang terjadi selanjutnya sangat miris. Terhitung sejak tahun 1998 sampai sekarang sastra Indonesia kehilangan jati dirinya. Banyak orang menyebut era ini adalah kemunduran sastra Indonesia. Bagaimana tidak? Saat ini hamppir mustahil menemukan kanon sastra (karya sastra abadi). Sangat sulit bahkan mungkin tidak ada sama sekali karya sastra yang baik dan lintas zaman. Pada angkatan Balai Pustaka kita bisa meliohat kanon sastra pada roman Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli. Inggris juga pernah melahirkan melahirkan kanon sastra pada roman Romeo and Juliet karya William Shakespare. Lain halnya dengan zaman sekarang. Sastra sudah menjadi komoditas menarik untuk diperualbelikan. Bisa dibilang sekarang adalah zaman komersialisasi karya sastra. Baik komersialisasi yang bersifat materi maupun non matri. Novel dibuat hanya untuk memenuhi target penjualan tanpa memerdulikan nilai estetika karya sastra. Puisi sebatas menjadi refleksi atas diri pengarangnya tanpa memerhatikan kebutuhan dan minat penikmat sastra. Yang terjadi selanjutnya bisa ditebak. Orang mulai bosan dengan karya sastra yang itu-itu saja. Setelah seseorang membaca sebuah karya sastra ya sudah. Tidak ada hal yang bisa dipetik atau direnungkan. Padahal menurut D.C. Longinus, sebuah karya sastra bisa disebut baik jika mampu membuat pembacanya merenung.
Kita sebagai penikmat sastra tentu berharap karya sastra di Indonesia kembali pada jati dirinya. Kita ingin ada sebuah kanon sastra yang lahir. Ya, semoga harapan tak hanya sebatas harapan. Semoga.
Malang, 20 Desember 2011
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya




Daftar Rujukan
Widyartono, D. 2009, Karya Sastra dan Periodesasinya, (Online), (http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/karya-sastra-dan-periodenya/), diakses pada 19 Oktober 2011.
Shadilie, H. 2009, Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Para Ahli, (Online), (file:///F:/Materi%20Kuliah/Menulis/Pengertian%20Sastra%20Secara%20Umum%20dan%20Menurut%20Para%20Ahli%20%C2%AB%20Asem%20Manis.htm), diakses pada 20 Desember 2011.
Irwansyah. 2011, Sejarah Sastra Indonesia: Sastra Melayu-Tionghoa dan Nasionalisme), (Online), (file:///F:/Materi%20Kuliah/Menulis/sejarah-sastra-indonesia-sastra-melayu-tionghoa-dan-nasionalisme.htm), diakses pada 20 Desember 2011.

Cerpen Humor (Tugas Kuliah)

IRONI
Hari ini lain dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Inilah saat dimana saya akan menyatakan perasaan cinta kepada wanita yang selama ini saya suka. Tiara namanya. Penampilan oke, wajah berseri bak mawar tanpa duri, dan otak cemerlang. Pria mana yang tidak kepincut?
Semua sudah saya persiapkan. Dari penampilan, kata-kata gombal, sekuntum bunga mawar hasil nyolong kebun tetangga, sampai mental yang kuat (kalau-kalau cinta saya ditolak). Namun, ada satu kalimat yang begitu membakar semangat saya untuk menyatakan cinta, “Diterima atau ditolak itu urusan nanti, yang penting berani ngomong dahulu”. Saat yang ditunggu tiba. Pukul satu siang di taman kampus.
Tiara, jangan pulang dulu ya. Saya ingin bicara sama kamu”. Saya mulai melancarkan serangan.
Iya Guntur, memangnya kamu ingin bicara tentang apa?”. Balas Tiara.
Saya heran, hari ini mataharinya kok ada tiga ya? Satu di awan, dua lagi di mata kamu”. Serangan pertama meluncur.
Eeyaaa. Mulai gombalnya. Cabai campur lodeh, capai deh.” Sahutnya.
Eh, saya nggak lagi nggombal kok. Serius. By the way, kamu suka Jamrud ya?”. Serangan kedua dilancarkan.
Loh, kok tahu?”. Tanya Tiara.
Karena saya melihat ada pelangi di matamu. hehehe”.
Ih kumat. Sudahlah Tur, sebenarnya kamu itu mau ngomong apa sih ?”.
Begini Ti. Saya itu suka sama kamu dari dulu. Maukah kamu menjadi ratu di kerajaan hati saya?”. Ucap saya serius. Ya, kali ini saya benar-benar serius.
Maaf ya Tur, bukannya saya nggak mau sama kamu tetapi saya kan belum boleh orangtua berpacaran. Jadi, kita berteman saja dahulu ya. Sekali lagi, Tiara minta maaf.” Jawab Tiara tegas.
Jeddddieerrrrr! Seperti petir di siang bolong. Jawaban Tiara begitu tidak terduga dan diluar perkiraan. Sekarang saya kurang apa coba? Motor punya (walaupun masih kredit sih), tampang tidak jauh beda sama CR7, dan cerdas bagai keledai. Saya begitu terpukul, rasanya seperti jatuh dari lantai teratas Gedung Rektorat UB ditambah tertimpa gazebo FK. Lemas, lunglai, dan sedih campur aduk menjadi satu kesatuan elemen yang tidak terpisahkan.
Malam hari setelah kejadian naas itu, saya menceritakan hal tersebut kepada teman dekat saya. Bukannya mendapat dorongan semangat teman saya malah berujar, “Tur tolong diingat ya! Kalau mau dapat pasangan itu lakukanlah tiga hal. Yang pertama berusaha. Kalau berusaha gagal, lanjutkan dengan kedua yaitu berdoa. Nah, kalau dua-duanya tetap gagal maka selayaknyalah kamu BERCERMIN!” Alamak! Ada penekanan ketika teman saya mengucapkan kata terakhir, dan itu membuat saya semakin patah arang.
Saya semakin jatuh ke jurang keputusasaan. Hingga akhirnya, satu minggu setelahnya saya dilarikan ke rumah sakit akibat kondisi kesehatan yang semakin menurun. Ada satu hal yang selalu saya ingat tentang rumah sakit. Diawal perawatan suster akan selalu mengatakan, “Makannya yang cukup ya pak, istirahatnya yang cukup ya pak, minum obatnya secukupnya saja ya pak!”. Tetapi diakhir perawatan, suster pasti mengatakan, “Biayanya yang cukup ya pak!”. Beli satai di warung Pak Dedeh, capai deh.

Hedgehog (Tugas Kuliah)

Hedgehog
      Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin gemar memelihara hewan unik. Itu bisa dilihat dari menjamurnya pedagang hewan unik. Dari mulai di emperan jalan, pasar hewan, bahkan pasar kaget. Hewan unik yang dijual pun beragam. Mulai dari ular, landak, kucing anggora, biawak, dan lain-lain. Dalam kesempatan ini Blimbing Post berkesempatan mewawancarai salah seorang kolektor hewan unik. Rendy Primadana namanya. Lajang yang tercatat sebagai mahasiswa UB ini adalah kolektor Landak dan Ular. Awalnya, dia memelihara kucing. Namun karena kucing diharamkan dalam jual beli syariah Islam dan perawatannya yang sangat susah, Rendy banting setir memelihara Landak dan Ular.

      Berawal dari hanya satu landak, kini Rendy memiliki koleksi Landak dan Ular unik tak kurang dari enam ekor ( lima Landak dan satu Ular). Untuk perawatan, landak gampang-gampang susah. Butuh makanan berupa ulat, jangkrik, dan kroto. Kebersihan harus dijaga ketat. Ganti serbuk kandang sekurang-kurangnya satu kali dalam satu minggu. Jenis landak sendiri, Rendy fokus pada snowplake, albino,dan saltpaper. Sedangkan Ular, Rendy hanya fokus dijenis Ular Pelangi. Rencana kedepan Rendy akan membuat pameran koleksi Landak dan Ularnya bersama dengan kolektor hewan unik lainnya. (mgk)

Lesu, Wajah Indonesia Kini


LESU, WAJAH INDONESIA KINI
Oleh : Muhammad Guntur K.
Indonesia,
Macan asia, jauh sebelum era bandit berkuasa
Pernah sangat disegani
Dikagumi
Namun kini sirna
Begitu mudah dinjak-injak
Bahkan oleh bangsa yang menyebut dirinya serumpun

Bangsa dengan lebih dari tujuh belas ribu pulau
Negara dengan hasil bumi tak terbatas
Seolah seperti macan ompong
Sejengkal demi sejengkal tanah pertiwi dicaplok
Penguasa tetap diam
Senyap
Tak acuh barang sedikitpun

Aparat penegak hukum,
Yang seharusnya menegakkan supremasi hukum
Justru menjadi kaki tangan tikus berdasi
Mereka lesu, layu, tuna gairah
Ketika harus mengibarkan keadilan
Sebaliknya,
Begitu bersemangat, tak patah arang
Saat mengikuti lomba gigit receh

Wajib belajar sembilan tahun
Hanya sebatas pepesan kosong
Rakyat diharuskan merogoh kocek sangat dalam
Hanya agar anak-anaknya mengenyam bangku sekolah
Mungkin karena ini,
Mereka lebih memilih menggiring anaknya ke jurang nafkah
Daripada mengejar ilmu
Mungkin

Atas nama Tuhan, atas nama agama
Sekelompok orang bertindak bodoh
Mengesampingkan Bhinneka Tunggal Ika
Menghakimi mereka yang berbeda
Dengan membunuh
Mengebom
Dan membombardir pertiwi

Indonesia adalah negara peringkat satu
Negara terkorup
Negara dengan perusakan hutan tertinggi
Miris memang,
Semoga selamanya tak seperti ini

Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa
Yang ada dalam diri mereka


Nongkojajar Pagi


NONGKOJAJAR, PAGI
Oleh : Muhammad Guntur K.
Embun itu
Menerpa seperti karunia agung
Kicau burung menyela
Memekik lembut di hati

Jujur, aku tak pernah
Merasa senyaman ini
Damai
Tentram

Hembusan sakal menyejukkan
Sepoi, semu
Gemerincing banyu biru
Wangi
Bersih

Jujur, aku tak pernah
Merasa sebahagia ini
Tak terpikir masalah
Lepas

Kalau boleh meminta
Aku ingin disini lebih lama
Kalau boleh memohon
Aku ingin disini selamanya


Tikus Putih


TIKUS PUTIH
Oleh : Muhammad Guntur K.
Aku sangsi
Masihkah ada hati dalam ragamu?
Atau memang kau diciptakan sebagai
Manusia tak bernurani

Aku sangsi
Masihkah kau bisa berpikir?
Atau memang kau diciptakan
Dengan otak yang tak berisi

Aku sangsi
Masihkah kau mengingat neraka?
Atau memang kau ingin menghabiskan
Hidupmu selanjutnya disana

Tak terhitung berapa banyak sen yang kau timbun
Berapa banyak hak rakyat kecil yang kau rampas
Berapa banyak orang yang kau zalimi
Berapa banyak harta negara kau keruk

Kau dengan nyaman tidur di kasur empuk
Sedang masih banyak yang tidur beralas koran
Kau melahap berbagai makanan enak
Sedang masih banyak yang terpaksa memakan nasi aking

Kau dengan sombong mengendarai mobil mewah
Sedang masih banyak yang harus berjalan kepanasan
Kau dengan enteng membuang uang
Sedang masih banyak yang sepeserpun tak punya

Kiranya kau masih punya hati nurani
Cobalah sedikit saja mengerti
Bagaimana penderitaan yang kami alami
\Karena perbuatanmu yang keji,
Tikus Putih


Widya


WIDYA
Oleh : Muhammad Guntur Kurniawan
Aku masih mengenang
Bagaimana kita melalui waktu demi waktu
Bersama, tak terpisah
Barang sedetikpun

Aku masih mengenang
Saat kita bercengkerama
Tak tampak, perbedaan
Terlihat indah

Aku masih mengenang
Ketika kau tatap kedua bola mataku
Terpancar ketulusan
Terlukis apa adanya

Aku masih mengenang
Kala senyumanmu merobohkan dinding-dinding kekakuan
Menyayat kebencian
Menebar percintaan


Wid, jika memang tak ada lagi
Kesempatan bersama seperti dulu
Aku yakin di hidup yang lain
Kita akan bertemu


 
Website Templates by Body Fat Caliper, Christmas Dress